Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hipnosis Oase Indochina

Kompas.com - 18/06/2013, 16:19 WIB
Indira Permanasari S

Penulis


Oleh Indira Permanasari

Di Indochina, jiwa larut dalam alam. Terhipnosis oleh Danau Hoan Kiem yang menyejukkan kota, keindahan tepian Sungai Ngo Dong, dan wayang-wayang lincah menari di atas air.


Hanoi, Kota Seribu Danau. Tak berarti genap ada seribu danau di kota yang dibangun kolonial Perancis dari dalam tanah basah rawa dan danau. Tersebutlah beberapa danau besar yang menjadi oase di antara lalu lintas Hanoi yang ruwet. Ada Danau Thien Quang, True Bach, Dong Da, Tay (West Lake), dan tentu saja Hoan Kiem, incaran para turis.

Akhir Mei lalu, Vietnam utara memasuki musim panas. Terik matahari membakar kota. ”Beberapa hari ini, suhu bisa sampai 42 derajat celsius,” ujar Hizkia (28), warga Indonesia yang sudah satu tahun bermukim di Hanoi. Di taman tepian Danau Hoan Kiem, orang betah berlama-lama, membelakangi keriuhan kota. Pandangan pun ”berenang” menelusuri jembatan merah di tengah danau dan Menara Kura-Kura yang menebar aura mistis.

Konon, pada abad ke-15, Kaisar Le Thai To dihadiahi sebilah pedang dari seekor kurang-kura yang hidup di danau untuk membantu mengusir penjajah di negerinya. Suatu hari, saat berlayar di danau, kura-kura besar muncul lagi. Segera raja menghunus pedangnya dan mengacungkannya kepada makhluk itu. Penyu segera menangkap pedang itu dengan mulut dan menyelam ke kedalaman air. Akhirnya, raja menyadari pedang itu merupakan pinjaman dewa untuk mengusir musuh, tetapi sekarang Vietnam sudah bebas, pedang harus dikembalikan. Raja Le Thai lalu menamai danau itu Ho Hoan Kiem atau ’Danau Pedang yang Dipulangkan’. ”Menurut legenda, kura-kura itu lalu tetap menghuni dan hidup di danau,” ujar Hizkia.

www.minube.sg Sungai Ngo Dong

Sesungguhnya, danau itu bagian dari Sungai Merah dan merupakan rawa yang dalam. Kebanyakan kawasan Hanoi dulunya berupa danau dengan ”pulau-pulau” kecil di tengahnya, rawa dan lahan basah. Sampai kemudian Perancis mengeringkan kawasan itu pada abad ke-19. Begitu tertulis di buku pegangan jalan-jalan saya, Insight Hanoi and Northern Vietnam keluaran Discovery Channel.

Perancis yang mulai menguasai utara Vietnam pada tahun 1883 memang terobsesi membentuk Perancis-Indochina (sekarang Vietnam, Kamboja, dan Laos) dengan Hanoi sebagai ibu kotanya. Lahan basah, rawa, dan danau dengan gila-gilaan dikeringkan demi jalan bulevar serta bangunan-bangunan bergaya Eropa yang masih berjejak di Hanoi.

Perlahan matahari termakan senja. Tepian danau kian ramai, seperti sepotong panggung kehidupan warga Hanoi. Ada sepasang kekasih merenungi bayangannya di air, orang-orang berolahraga lari atau latihan angkat beban di gim terbuka sederhana di tepi danau, turis bengong tengah menikmati keindahan, dan pedagang-pedagang tua menjajakan buah dalam sebuah tampah.

”Di Hanoi, jarang ada pengemis. Mereka bekerja, meski cuma dagang setampah atau sepanci makanan. Muda dan tua,” kata Hizkia.

Sisa sore yang masih menyisakan hawa panas dan lembab pun diisi dengan berjalan kaki melihat-lihat sebagian Old Quarter yang dekat dari danau.

Old Quarter hadir sejak abad ke-13 dan kini dihuni dari ribuan pedagang. Rumah-rumah sempit bertingkat tiga memanjang ke atas dengan halaman kecil, bagian dari pemandangan Old Quarter. Zaman dulu, tuan tanah menarik pajak kepada toko berdasarkan luasan tanah alasnya. Tak heran, bangunan menjadi begitu sempit. Sebagian bangunan terpengaruh gaya Perancis dengan balkon-balkon menghadap jalan.

Wayang air

Di Old Quarter, ragam kerajinan tangan Vietnam bisa ditemukan mulai dari lacquer, lukisan dari sulaman benang, selendang sutra, hingga gantungan kunci. Dan, ketika kaki lelah melompat dari satu toko ke toko lain, jeda di kedai kopi atau warung pho (mi) yang betebaran di sudut-sudut jalan begitu menggiurkan. Aroma dan rasa kopi Vietnam yang lembut, membius lidah dan menyuntikkan energi.

Uniknya, kafe-kafe di pinggir jalan ini tidak menyediakan bangku dan meja yang normal, tetapi kursi-kursi kecil mirip dingklik, barangkali karena ruang yang sempit. Dengkul pun harus rela akrab bersinggungan saat kafe sedang ramai. Budaya ngopi-ngopi ini tak lepas dari pengaruh budaya Perancis.

Ketika menelusuri relung kota di sekitar danau itulah saya melihat gedung teater wayang air dan memutuskan masuk ke dalamnya. Seni wayang air berkembang di delta Sungai Merah dan dipraktikkan petani padi selama berabad-abad.

Yang disebut ”panggung” dalam ruangan teater itu ialah kolam dengan tirai-tirai di sekelilingnya. Sebuah orkestra tradisional Vietnam dengan instrumen drum, lonceng kayu, simbal, tanduk, kecapi, gong, dan seruling bambu mengiringi pertunjukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com