Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Gabus Pucung Makin "Minggir"

Kompas.com - 28/06/2013, 09:03 WIB
Pengantar:

Tim Jelajah Kuliner Nusantara 2013 kembali ke Ibu Kota setelah ”berkelana” ke Aceh, Bali, Solo, dan Yogyakarta. Kali ini, tim menelisik kuliner Betawi yang merekam evolusi masyarakat Betawi dari masa ke masa. Pembaca juga bisa mengakses tulisan melalui iPad (App-Store), Android (Play Store), Kompas.com, dan Kompas TV.

***

Candra (42) nyaris lupa rasa gurih gabus pucung dan gabus pecak. Padahal, kedua menu itu pernah begitu akrab di lidahnya hingga ia remaja. Begitulah, seiring lenyapnya sawah dan rawa di Jakarta, lenyap pula gabus dalam daftar menu makan sebagian besar orang Betawi di Ibu Kota.

Selama tiga minggu Candra mencari informasi mengenai warung betawi yang menyediakan menu gabus pucung dan gabus pecak. Ia menyisir Ciledug, Depok, hingga Bekasi hanya untuk kecewa. Ia tidak menemukan warung yang menyediakan menu itu. Kalaupun ada, ikannya diganti dengan mas, mujair, atau gurame.

Candra harus menerima kenyataan. Ikan liar yang sulit dibudidayakan itu mulai lenyap dari daftar menu orang Betawi. ”Padahal, waktu saya kecil, tiap minggu Emak masak gabus pucung dan gabus pecak. Gabusnya tinggal nyerok di kali atau situ dekat rumah,” kenang lelaki asal Tanah Abang yang besar di Ciputat, Tangerang Selatan, itu.

Gurihnya gabus pucung juga tinggal kenangan samar-samar dalam ingatan Krisnawan (39), warga Ciledug, Kota Tangerang. Dia terakhir makan gabus pucung tahun 1991 ketika masih tinggal di Kampung Pecandran, Kelurahan Senayan, Kebayoran Baru. Ketika itu, Kris yang berusia 17 tahun akrab dengan Rawa Ngenyong yang berada di belakang Kompleks Menteri Widya Chandra. ”Hampir tiap hari saya nyerok ikan gabus, betok, dan sepat di rawa itu. Hasilnya kita goreng dan pecak.”

Aktivitas itu terhenti ketika rawa dan kampung tempat Krisnawan dan keluarganya digusur untuk kawasan pusat bisnis yang sekarang bernama SCBD. Krisnawan pindah ke Petukangan, Jakarta Selatan. ”Kebiasaan nyerok gabus terhenti karena di kampung yang baru enggak ada rawa. Sejak saat itu pula saya enggak pernah makan gabus.”

Firdaus (52), warga Ujungmenteng, Cakung, Jakarta Timur, masih lebih beruntung. Ia bisa mencicipi gabus meski harus pergi ke warung betawi di Babelan, Bekasi Utara. Dulu, kalau mau makan gabus ia tinggal cari di saluran irigasi yang melintasi Ujungmenteng. ”Sampai pertengahan tahun 1980-an, di irigasi itu masih banyak ikan. Tiap tahun pemerintah menyebar benih dan warga rame-rame memanen beberapa bulan kemudian,” katanya.

Warung pucung

Suatu hari, kami mendapat telepon dari Candra. Dengan gembira, ia memberi tahu ada kios penjual gabus hidup di daerah Ciseeng, Bogor. Kami pun bertolak ke Ciseeng dengan sepeda motor melewati jalan berlubang dan berlumpur dari arah Serpong. Benar saja, di sebuah kios di Jalan Gunung Sindur, puluhan ikan gabus hidup dipajang dalam plastik berisi air.

Pemilik kios mengatakan, ikan itu hasil buruan pencari gabus di Ciseeng. Ia menjual sebagian di kios dan sebagian disetor ke warung makan di Parung, Bogor, dan Depok. Perburuan pun beralih ke warung betawi yang menyediakan menu.

Kami tiba di Rumah Makan Gabus Pucung Mak Abeng di Jalan Lebakwangi, Parung, saat makan siang tiba. Memasuki warung itu seolah memasuki surga makanan berbasis ikan sungai, sawah, dan rawa, seperti gabus dan tawes, yang mungkin telah lenyap di sebagian besar wilayah Jakarta. Di meja makan, ikan tawes dan gabus goreng ukuran besar dihidangkan dalam jumlah banyak. Kita tinggal meminta pelayan meracik bumbu: pecak atau pucung.

Kami memesan keduanya. Nurhayati (35), pelayan warung, segera mengulek kasar cabai merah, bawang merah, jahe, laos, dan temu kunci. Bumbu itu diseduh dengan air panas, diberi garam dan gula, serta air jeruk limau, lalu diguyurkan bumbu ke gabus dan tawes goreng. Jadilah pecak yang rasanya segar.

Ia mengambil mangkuk lain berisi gabus dan mengguyurnya dengan bumbu hitam yang telah dimasak. Ia tambahkan irisan bawang daun dan bawang goreng. Jadilah gabus pucung yang citarasanya berat. Kami menyantap kedua menu dengan sayur asam khas betawi pinggiran yang berisi irisan jengkol.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com