Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Antikorupsi dalam Sebutir Bacang

Kompas.com - 01/07/2013, 05:53 WIB
BACANG bukan sekadar teman sarapan pagi. Di balik kelezatannya, ada kisah tentang perjuangan melawan korupsi. Lemparkan sebutir bacang ke tengah kali dan Anda telah terlibat dalam gerakan antikorupsi. Begitulah tradisi yang masih dijalankan sebagian masyarakat Tionghoa hingga kini.

Semakin malam, kian lincah tangan Nyonya Lauw Tjin Hwa (62) membungkus bacang dengan daun bambu dan tali dari pelepah pisang. Hanya dalam tempo 15 menit serenteng bacang isi 12 buah terbungkus rapi. ”Tinggal rebus satu jam, bacang matang dah,” ujar Lauw, pertengahan Mei lalu, di rumahnya di daerah Kapling, Pasar Lama, Tangerang.

Di dapur Lauw yang sempit, ada empat dandang ukuran besar berisi rebusan bacang. Setelah bacang-bacang itu matang, dandang segera dikosongkan untuk merebus bacang lainnya. Ia menyodorkan empat bacang yang baru matang. ”Cobain deh, tapi hati-hati, ya, di dalamnya ada ranjau,” kata Lauw memberikan peringatan.

Kami mencicipi bacang yang hangat dan legit itu. Daging cincang sebagai isi di dalamnya terasa manis. Di antara daging cincang terselip beberapa cabai rawit yang disebut Lauw ranjau. Sekali menggigit ranjau itu, Anda bisa blingsatan lantaran kepedasan.

Lauw mengatakan, setiap hari ia membuat ratusan bacang untuk upacara kematian, arisan, atau tur. Sebagian bacang buatannya juga dititip ke para pedagang bacang di Pasar Lama Kalipasir, Tangerang. Sepotong bacang lezat buatan Lauw dihargai Rp 6.000-Rp 8.000 bergantung isi bacang di dalamnya. Dari tangan para pedagang, bacang mengalir ke meja makan orang dengan berbagai latar belakang etnis sebagai menu sarapan pagi.

Menjelang Festival Peh Cun, Lauw harus kerja lembur. Maklum, pesanan yang datang kepadanya bisa mencapai ribuan bacang. ”Saya bisa dapat pesanan 2.000 bacang sehari. Biasanya saya kerja sampai pagi, ngebungkus bacang terus,” kata Lauw yang berjualan bacang sejak 2006.

Selain Lauw, ada Nyonya Tan, pembuat bacang yang tinggal tidak jauh dari klenteng Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang. Sehari sebelum Peh Cun tiba, kami mampir ke rumah merangkap warung bacang dan menu-menu Tionghoa peranakan. Aroma bacang yang baru matang menguasai warung yang tak seberapa luas itu. Seperti Lauw, Tan juga kebanjiran order bacang setiap Peh Cun tiba.

Bacang antikorupsi

Penulis kuliner peranakan Aji Bromokusumo alias Joseph Chen menjelaskan, bacang (rou zong) awalnya memang dibuat untuk Festival Peh Cun yang digelar setiap tanggal 5 bulan lima dalam kalender China. Pada saat itulah, orang Tionghoa melemparkan bacang ke kali untuk menghormati tokoh bernama Qu Yuan yang dalam dialek Hokkian disebut Kut Goan.

Siapakah Qu Yuan yang hidup sekitar tahun 339-227 SM itu? Ia adalah pejabat China yang muak terhadap perilaku koruptif penguasa China ketika itu. Lantaran tidak sudi melayani penguasa lancung, Qu Yuan memilih mati dengan menceburkan diri ke sungai. ”Jadi bacang itu adalah simbol perjuangan orang Tionghoa melawan korupsi,” ujar Aji.

Tradisi itu masih dipertahankan masyarakat keturunan Tionghoa, termasuk Tionghoa peranakan di Tangerang yang lebih dikenal sebagai China Benteng. Selasa (11/6/2013) siang, sejumlah warga China Benteng berperahu menyusuri Kali Cisadane. Di atas perahu, seorang rohaniwan dari Klenteng Boen Tek Bio memimpin upacara. Menjelang siang, ia melempar bacang dan aneka bunga ke kali yang segera diikuti oleh umatnya. Perahu-perahu naga dari kertas dibakar dan doa-doa dihantarkan.

Bacang, bunga, dan aneka keperluan ritual yang dilempar ke kali langsung dipermainkan arus Cisadane. Bersamaan dengan itu, orang-orang China Benteng itu berharap, setiap bacang yang dilempar ke kali akan menarik perhatian ikan-ikan dan makhluk lainnya. Dengan begitu, mereka tidak akan mengganggu jasad Qu Yuan yang budiman.

Setelah ritual itu, hari berikutnya lomba perahu naga dan aneka hiburan peranakan, seperti gambang kromong digelar. Begitulah, Peh Cun selalu ramai dan menghadirkan suasana pesta rakyat.

Lidah lokal

Di luar untuk keperluan Peh Cun, bacang yang lezat telah menjadi santapan harian masyarakat Tionghoa sejak berabad-abad yang lalu. Dari keturunannya di Indonesia, citarasa bacang ditularkan kepada masyarakat dari etnis di Nusantara. Bacang lantas hadir salah satunya sebagai teman sarapan pagi.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com