Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Beragam Manusia Melebur

Kompas.com - 12/07/2013, 17:00 WIB
PELABUHAN Sunda Kelapa, yang sebelumnya selalu berada di bawah bayang-bayang Pelabuhan Banten, pada akhirnya menarik perhatian para saudagar asing di abad ke-16. Sunda Kelapa berkembang menjadi bandar di mana produk-produk berharga, seperti kemenyan, porselen, sutra, kayu gaharu, bulu cenderawasih, dan mutiara, diperdagangkan.

Sebagai rangsangan tambahan bagi pelaut-pelaut yang kelelahan dan kehausan, Sunda Kelapa menyediakan arak bermutu baik, air tebu sulingan, dan air tape yang dibuat pemukim Cina. Woodes Rodgers, kapten kapal galleon Spanyol yang berlabuh di Batavia tahun 1710, mencatat, ”Awak kapal kami saling berangkulan dan mengucapkan rasa syukur karena mereka tiba di tempat pesta minum-minum yang gembira sekali” (Willard A Hanna, 1988).

Seiring dengan perkembangan perdagangan, Sunda Kelapa dengan cepat menjadi daerah yang kosmopolitan. Kawasan itu menjadi lebih kosmopolitan lagi ketika Coen membangun Kota Benteng Batavia sebagai markas perdagangan VOC di Nusantara tahun 1619. Awalnya, ia merancang Batavia sebagai kota koloni bercorak Eropa yang dihuni orang-orang Eropa. Apa daya, ambisinya gagal total karena sedikit sekali orang Eropa yang bersedia datang ke Batavia. Adapun orang Eropa yang sudah ada di Batavia ia anggap ”sampah masyarakat”.

Ia pun sempat mendesak Heeren XVII, 17 direktur VOC yang bermarkas di Belanda, agar mengirim orang-orang terhormat, terutama para gadis. Namun, permintaan itu ditolak dengan berbagai alasan (S Blackburn, 2011).

Agar Batavia yang masih kosong melompong itu berpenghuni, Coen mendatangkan imigran Cina, Ambon, Filipina, dan Jepang. Orang Cina diharapkan menggerakkan perekonomian, sementara Ambon, Filipina, dan Jepang sebagai tenaga keamanan. Ia juga membawa masuk budak-budak dari Coromandel, Benggala, dan budak-budak dari seluruh wilayah Indonesia, seperti Bali, Makassar, Sumbawa, dan Timor, untuk dijadikan tenaga kerja. Ketika Batavia menjadi pelabuhan yang ramai, pedagang-pedagang dari Gujarat dan belakangan Hadramaut juga datang dan menetap di Batavia.

Begitulah sejak awal pendiriannya, penduduk di dalam Kota Benteng Batavia sudah sangat majemuk. Di daerah luar Kota Benteng (Ommenlanden), penduduk lebih majemuk lagi. Awalnya, Ommenlanden hanya dihuni sejumlah kecil penduduk. Seiring dengan perluasan daerah perkebunan VOC dan pedagang Cina ke daerah Ommenlanden, masuklah gelombang imigran bebas baik dari Cina, Jawa, dan Banten. Para mestizo (penduduk beragama Kristen hasil perkawinan orang Eropa dan Asia), mardijker (budak yang telah merdeka), para prajurit, dan mantan prajurit juga masuk ke Ommenlanden dan menetap di sana.

Ramco Raben mencatat, orang Eropa atau Indo- Eropa biasanya tinggal berkerumun di dekat pusat kota. Orang mardijker, komunitas Arab dan Cina mendominasi pinggiran sebelah timur, barat daya, dan barat Ommenlanden. Sebagian orang Cina juga tinggal dalam radius cukup jauh dari kota.

Secara umum, orang Jawa menempati daerah-daerah terjauh dari Ommenlanden, sedangkan orang Bali dan Bugis tidak memperlihatkan pola tinggal yang jelas (K Grijns, P JM Nas (ed), Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, 2007).

Belanda sebenarnya menerapkan kebijakan pemisahan (segregasi) permukiman penduduk berdasarkan latar belakangnya. Tujuannya agar penduduk yang beragam itu tidak akan menyatu. Kenyataannya, kebijakan itu tidak jalan di lapangan. Di dalam Kota Benteng, laki-laki Eropa melirik perempuan lokal akibat minimnya gadis-gadis Eropa di Batavia. Imigran awal Cina dan Hadramaut— terutama imigran generasi awal—juga kawin dengan perempuan lokal. Pangkal soalnya sama saja, yakni mereka tidak membawa perempuan dari negeri leluhur ke tanah rantau di Batavia.

Di wilayah Ommenlanden, kawin campur lebih luas lagi dan melibatkan lebih banyak etnis. Lewat perkawinan campur semacam inilah akulturasi budaya terjadi.

Peran perempuan, menurut Susan Blackburn, sangat penting dalam proses akulturasi tersebut. Selain lewat perkawinan, pertemuan budaya terjadi lewat hubungan antara budak dan tuan atau pelayan dan majikan di keluarga orang Eropa ataupun Cina. Betapa tidak, mereka memegang peranan kunci dalam mengurus rumah tangga, mulai dari mengurus rumah, mengasuh anak, hingga memasak. Dari mereka, orang-orang Eropa atau Indo-Eropa mengenal masakan Indonesia.

KOMPAS/LASTI KURNIA Rombongan turis mancanegara menggunakan sepeda sewaan berkeliling di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Rabu (30/3/2011). Wisata kota tua dengan mengunjungi situs bangunan tua dan lokasi bersejarah merupakan salah satu paket yang digemari turis mancanegara yang berkunjung ke Jakarta.
Gaya hidup keluarga-keluarga campuran semakin lama memang semakin mengindonesia pada abad ke-19. Orang Belanda yang kaya ataupun miskin mengenakan sarung, menikmati tidur siang setelah makan, dan doyan rijsttafel.

Sebagian dari perempuan indo yang pandai memasak menyebarkan makanan lokal bercita rasa barat atau sebaliknya lewat buku-buku. Buku-buku tersebut antara lain Boekoe Masakan Baroe yang ditulis Nyonya Johanna dan diterbitkan di Batavia tahun 1897 serta Kokki Bitja yang ditulis Nonna Cornelia dan cetakan kesembilannya diterbitkan tahun 1880 (Susan Blackburn, 2011).

Hal itu juga terjadi pada keluarga Cina Peranakan. Mereka kehilangan sebagian karakter asli pendahulunya. Sebagian memeluk agama Islam dan mengganti nama mereka dengan nama-nama Islam. Dengan demikian, mereka terserap ke dalam komunitas pribumi.

Orang-orang Bali yang lama tinggal di Batavia juga terserap ke dalam komunitas lokal. Jejak mereka sebagai orang Bali benar-benar hilang di Jakarta dan menjadi Betawi (Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, 2007).

Begitulah, beragam manusia dari berbagai latar belakang etnis dan ras melebur menjadi Betawi. Jejak mereka mewarnai produk-produk kebudayaan Betawi, mulai dari pakaian, musik, hingga makanan.

Namun, tidak semua pendatang asing mengalami proses peleburan yang sama. Ketika Terusan Suez dibuka tahun 1869, perempuan-perempuan Eropa dan Cina berdatangan ke Batavia dalam jumlah cukup banyak. Kedatangan perempuan Cina dan Eropa secara mendadak menghentikan kebiasaan kawin campur laki-laki Eropa dan Cina dengan perempuan lokal yang telah berlangsung sejak abad ke-17. Akibatnya, terbentuklah subkomunitas totok dalam komunitas-komunitas keturunan itu (Anthony Reid: Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia, 2008). (Budi Suwarna/Iwan Santosa/Ahmad Arif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com