Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengulik Sejarah Cikini

Kompas.com - 17/07/2013, 14:11 WIB
Fitri Prawitasari

Penulis

TERIK matahari siang itu menuntun kaki-kaki mungil menyusuri sepanjang jalan di Cikini, salah satu wilayah di bagian pusat kota Jakarta yang sebagian bangunannya masih menyimpan keemasan masa kolonial. Jarak yang ditempuh sejauh kurang lebih satu setengah kilometer memang dirasa lelah bagi Fian, siswa kelas 5 SD asal Cilincing yang sedang mengikuti tur Jakarta Heritage Trails: Ngaboeboerit ke Tjikini.

Apalagi pada Minggu (14/7/2013) siang itu adalah Bulan Ramadhan. Ia dan belasan bocah seperti dirinya yang menjadi bagian dari rombongan tur sedang dalam kondisi berpuasa. Meski demikian, Fian mengaku sangat senang mengikuti tur menjelajahi wilayah Cikini tersebut yang digelar oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI).

"Senang karena belum pernah ke sini. Jadi tahu," tutur Fian seraya menunjukkan wajah sumringah, menyamarkan kelelahan yang juga tergurat di wajahnya.

Tak hanya bocah-bocah seperti Fian, peserta tur juga terdiri dari para pemuda bahkan dewasa dengan memiliki misi yang sama yaitu mengulik kisah lain diantara jajaran bangunan di kawasan Cikini. Konon, pada masanya, bangunan ini memiliki peran penting. Baik bagi kepentingan negara maupun sebagai pusat kegiatan masyarakat.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Peserta tur Jakarta Heritage Trails: Ngaboeboerit Ke Tjikini, Minggu (14/7/2013).
"Rute Cikini sendiri pernah kita gunakan pada tahun 2004 atau 2005 lalu dan sekarang kita eksplor lagi. Karena bertepatan dengan bulan Ramadhan juga kita pilih rute ini karena tempat berakhirnya adalah salah satu masjid tertua di Cikini, Masjid Al Ma'mur," ujar Pendiri KHI, Asep Kambali.

Wilayah Cikini juga, lanjut Asep, menjadi wilayah yang sering dilewati oleh banyak orang. Namun banyak yang mengacuhkan. Padahal jika diselidiki, banyak hal unik yang dapat dipelajari dari wilayah tersebut.

"Cikini itu sendiri memang masih banyak bangunan bersejarah. Dia masih satu wilayah dengan Menteng. Tapi Cikini lebih kurang terekspos dibandingkan Menteng," ujar Ketua Panitia Pelaksana Jakarta Heritage Trails: Ngaboeboerit Ke Tjikini, Aryo B Saleh.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Salah satu ruang Pameran Museum Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat.
Tur dipandu oleh beberapa orang anggota KHI dengan mengawali perjalanan dari Museum Joang 45 yang dulu sempat dikenal dengan Menteng 31. Gedung museum, dari luar terlihat seperti replika istana negara dengan tiang-tiang besar menopang di teras muka museum. Di dalamnya, tampilan museum telah tertata apik. Setiap koleksi tersimpan pada lemari-lemari kaca.

Beberapa foto serta tulisan yang menjelaskan keterangan pun dilapisi dengan kaca yang dipajang menggantung. Tak sampai disitu, ruang pameran juga termasuk sebuah garasi kaca yang ada di belakang gedung utama museum. Yang tersimpan di garasi bukan sekadar mobil biasa. Melainkan tiga buah mobil antik yang pernah digunakan oleh para pemimpin negara, Soekarno dan Muhammad Hatta.

Beranjak dari Museum Joang 45, tempat singgah selanjutnya adalah Toko Roti Tan Ek Tjoan. Namun sebelumnya, melewati Kantor Pos Cikini yang pada masa silam, sempat menjadi penyambung informasi bagi masyarakat ke seluruh penjuru. Serta menyusuri depan pertokoan Cikini dengan gaya bangunan yang masih kuno.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Peserta tur Jakarta Heritage Trails: Ngaboeboerit Ke Tjikini, Minggu (14/7/2013), di depan Toko Roti Tan Ek Tjoan, di Jalan Raya Cikini, Jakarta Pusat.
Sampai di Toko Roti Tan Ek Tjoan, sayangnya karena sampai terlalu sore, toko roti telah tutup. Kegiatan produksi roti pun telah selesai. Karena selama Ramadhan, kegiatan produksi bergeser menjadi pagi hingga siang hari.

Namun para peserta tetap dapat melongok dapur produksi roti. Di dalamnya tersimpan perkakas pembuat roti yang jika dilihat dari tampilannya telah berusia cukup tua. Namun sunguh hebat, alat-alat tersebut masih berfungsi dengan baik memproduksi ribuan roti setiap hari.

Perjalanan selanjutnya melewati Taman Ismail Marzuki yang memiliki teater ruang angkasa Planetarium, sekolah yang telah ada sejak masa kolonial yakni SMP N 1 Cikini dan Perguruan Cikini. Rumah makan Indonesia dengan kualitas nomor wahid, Oasis, hingga tiba di Rumah Sakit PGI Cikini.

Bukanlah rumah sakit yang menjadi objek perhatian dalam perjalanan, melainkan rumah megah yang ada di halaman belakang rumah sakit. Siapa nyana, rumah bergaya Eropa itu dulunya adalah rumah tinggal maestro lukis kenamaan, Raden Saleh.

"Gedung ini usianya lebih kurang 150 tahun dibuat oleh Raden Saleh sendiri saat beliau pulang dari Eropa. Rumah ini bergaya Jerman dan Belanda karena dia tinggal lama di dua negara itu," ujar Humas RS PGI Cikini, Rosi.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Rumah Raden Saleh yang ada di kompleks RS PGI Cikini, Jalan Raden Saleh No.40, Jakarta Pusat.
Ya, mungkin sebagian peserta tak ada yang menyangka berdiri sebuah rumah megah menyimpan sejarah di kompleks rumah sakit tersebut. Termasuk salah satunya Zya. "Aku baru sekali ke sini (Rumah Raden Saleh). Baru tahu ada bangunan ini, padahal sering lewat sekitar sini. Bagus banget ya. Pasti zaman dulunya megah banget," kata Zya.

Perjalanan memakan waktu lebih dari tiga jam tersebut berakhir di Masjid Al Ma'mur. Di sini juga menjadi tempat rehat para peserta sambil menyantap hidangan berbuka puasa yang disediakan oleh panitia.

Meski tampak kelelahan di wajah para peserta, namun mereka tetap terlihat antusias mendengarkan Asep Kambali berbagi sekilas kisah sejarah tentang rute yang dilalui.

Ya, sejarah memang bisa dipelajari melalui berbagai hal. Tak hanya terpatok pada buku teks yang disediakan di sekolah. Meski, kata Asep, untuk belajar sejarah harus dimulai dengan membaca. Namun untuk terjun langsung ke tempat bersejarah juga tak kalah penting. Sebagai aplikasi apa-apa yang telah dipelajari pada buku teks.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com