Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Batik Pekalongan Mendunia

Kompas.com - 17/07/2013, 17:58 WIB
BATIK dan Pekalongan merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Selama berpuluh-puluh tahun, batik telah menjadi napas dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat di pesisir utara Jawa Tengah itu.

Hampir setiap hari di setiap sudut Kota Pekalongan, pembatik tua dan muda, laki-laki dan perempuan, bergelut dengan aroma lilin (malam) dan pewarna, untuk menghasilkan lembar demi lembar kain batik.

Pusat perbelanjaan batik juga tersebar di kota itu, mulai dari pasar grosir hingga butik yang dimiliki setiap pengusaha. Pasar grosir Setono, pasar batik Gamer, pasar batik di Gedung Pengusaha Perbatikan Indonesia Pekalongan (PPIP), Kampung Batik Kauman, dan Kampung Batik Pesindon, merupakan pusat perbelanjaan batik di Pekalongan. Semua menyuguhkan kreasi batik, dari yang berbentuk kain hingga pakaian jadi, dengan berbagai pilihan harga.

Masyarakat mengakui, Pekalongan sebagai salah satu pusat batik nasional. Sekitar 70 persen pasokan batik di Indonesia berasal dari wilayah itu. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan, menunjukkan, hingga semester II tahun 2012, jumlah industri batik di daerah itu sebanyak 634 unit usaha, dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, juga terdapat ratusan industri lain yang mendukung industri batik, antara lain industri tenun, aksesori, tekstil, dan bordir.

Tak hanya di Kota Pekalongan, industri batik juga menyebar di Kabupaten Pekalongan. Pengusaha batik asal Pekalongan dan pengurus Yayasan Batik Indonesia, Romi Oktabirawa, mengatakan, jumlah tenaga kerja batik (tulis dan cap) di Kabupaten Pekalongan diperkirakan mencapai 25.000 orang. ”Mata pencaharian utama masyarakat Pekalongan itu batik dan perikanan,” katanya.

Berubah tapi abadi

Pengusaha batik, yang juga fungsionaris Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kabupaten Pekalongan, Failasuf, menyatakan, industri batik di Pekalongan pasti akan mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.

”Saat orang berlomba kembali ke alam dan memakai pewarna alam, kami juga berupaya memenuhi tuntutan itu. Di sisi lain, didesak juga untuk bisa tetap memproduksi batik murah yang tidak merusak lingkungan. Pasti, lambat laun ada perubahan, termasuk ketika tenaga kerja semakin kurang, karena pemuda memilih jalur pekerjaan lain,” katanya.

Failasuf justru yakin dengan pesatnya perkembangan teknologi, pasti nantinya juga diadopsi dalam industri batik. ”Sekarang saja ada batik tulis, batik cap, juga tekstil motif batik. Di masa depan, inovasi apalagi yang terjadi pada batik, susah diprediksi. Namun, ketika selalu ada orang-orang muda punya semangat melestarikan pusaka bangsa ini, batik akan lestari,” katanya lagi.

Failasuf tak sekadar berucap kosong. Batik kini mendunia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2009 merupakan salah satu buktinya. Gerakan bersama revitalisasi batik juga menyebar di 18 provinsi di Indonesia, termasuk Papua. Dengan adanya campur tangan desainer profesional, batik saat ini mampu menyasar golongan muda, sebagai sebuah mode yang penuh gaya.

Menurut Romi, Pekalongan sebagai daerah industri batik, akan selalu menjadi inspirasi bagi batik di Indonesia. Kelebihan Pekalongan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang saat ini juga merevitalisasi batik, adalah sumber daya alam dan tenaga terampil.

Kebanyakan, transformasi budaya batik di Pekalongan disebabkan faktor kekerabatan atau keturunan. Mereka belajar membatik secara turun-temurun, dari orang tua sebelumnya. Bahkan, akan muncul rasa malu dari anak-anak muda di lingkungan pembatik, bila mereka tidak bisa membatik. ”Ada budaya kekerabatan dan ikatan dengan lingkungan, yang menjadikan mereka memilih membatik,” tuturnya.

Oleh karena itu, meski banyak anak muda yang merantau untuk bekerja di luar kota, dia yakin Pekalongan tidak akan kehabisan generasi pembatik. Namun, sebagai sebuah budaya, batik tetap membutuhkan sentuhan dari pemerintah, serta dukungan masyarakat konsumen, agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi. ”Kalau ada pasar, perekonomian meningkat, generasi muda batik pasti akan bertahan,” tuturnya.

Inovasi kain

Kendala bahan baku, seperti kain yang selama ini masih diimpor, mulai dicoba diatasi dengan terus melakukan inovasi. Saat ini, Romi dan kawan-kawannya tengah mengembangkan kain dari serat kayu ekaliptus, untuk diolah menjadi bahan baku batik. Inovasi dalam batik, tak hanya berupa teknik membatik, tetapi juga inovasi bahan baku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com