Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melarikan Diri ke Penang

Kompas.com - 11/10/2013, 07:59 WIB
PERNAH menjadi tempat pelarian beragam suku bangsa, Pulau Penang kini menjadi salah satu tujuan wisata unggulan di Malaysia. Penopangnya adalah keberagaman bangsa-bangsa yang pernah berlindung padanya.

Riuh teriakan burung gagak menyambut saat kami berdua tiba di Bandar Udara Internasional Penang, medio September 2013. Tiba di pengujung hari membuat perjalanan sedikit menegangkan.

”Tenang saja, bus di sini sampai pukul 23.30 untuk semua jurusan,” kata Jana yang kami temui tengah menunggu kedatangan bus 401 E jurusan Bandar Udara-Jetty, salah satu terminal bus di Penang.

Jana ternyata tenaga kerja Indonesia asal Medan, Sumatera Utara. Dua tahun sudah, dia tinggal di Penang. Pertemuan tak sengaja dengan orang Indonesia sering dialami Jana. Penang adalah tempat liburan murah sekaligus menyenangkan bagi orang Indonesia.

”Kalau saya beda. Bukan wisata, melainkan bekerja. Saya sudah dua tahun bekerja di perusahaan perakitan barang elektronik,” ujar Jana.

Pengamat budaya Indonesia-Malaysia, Abdur Razzaq Lubis, dalam tulisan berjudul Orang-orang Indonesia di Pulau Penang mengatakan, Penang menjadi rumah bagi masyarakat yang tertindas. Masyarakat Tamil dari India selatan, orang Melayu dari Malaysia daratan, dan etnis Manchu dari China ikut datang. Mereka lari dari ancaman keamanan di negeri masing-masing. Saudagar Aceh juga mengunjungi Penang sebagai salah satu pelabuhan internasional setelah Sabang kehilangan pamornya.

Kehidupan di Penang ternyata jauh lebih nyaman. Para pendatang itu leluasa menjalankan adat dan keyakinan tanpa pertikaian. Permukiman, pusat peribadatan, hingga pusat perdagangan pun tumbuh subur dengan Georgetown sebagai ibu kotanya. Terus mempertahankan keaslian daerah, UNESCO menetapkan Georgetown sebagai kota warisan budaya dunia pada 2008.

KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG Penang Hill di Malaysia.
”Di sini, semua suku bangsa bisa menikmati warisan budayanya masing-masing,” kata Lubis.

Jejak peradaban

Memasuki Georgetown seperti melintasi Kota Tua di Jakarta versi terawat, bukan kusam durja. Matahari seperti di atas kepala. Panas. Ditiup kelembaban angin pantai membuat keringat mengucur deras. Namun, digoda jalan nan mulus dan lurus, saya memilih mengayuh sepeda mengelilingi Georgetown.

Gereja Saint George, yang dibuat sebagai penghargaan bagi Francis Light, pertama kali kami datangi. Letaknya sekitar 300 meter dari benteng terbesar di Penang, Fort Cornwallis.

Menerapkan gaya arsitektur Georgian Paladium, gereja ini sepertinya sengaja direncanakan dibangun megah dan bertahan lama. Biayanya 60.000 juta peso Spanyol atau seharga sama ketika Inggris membeli Singapura pada 1819. Keinginan itu berhasil.

Saint George kini masih menjadi gereja Anglikan tertua di Asia Tenggara dan digunakan untuk upacara keagamaan yang bertahan lebih lebih dari 200 tahun.

Warisan masyarakat India Selatan yang datang tak lama setelah Francis Light juga terlihat di kawasan Little India, 200 meter ke arah Jalan Queen. Gopuram (atap) berukir 38 orang suci Hindu membuat keberadaan Kuil Mahamariamman berusia 180 tahun (1833) sangat mencolok.

Terselip di antara toko rempah-rempah, perajin emas tradisional dan warung kaki lima yang menjajakan roti cane tidak menghalangi umat datang dan pergi setiap hari, mengharapkan berkat keselamatan dari Sri Mahamariamman yang dipercaya memberi kekuatan, harapan, dan kesejahteraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com