Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/10/2013, 11:14 WIB
BOVEN DIGOEL, KOMPAS — Mesin truk menggeram. Asap knalpot membubung mengiringi putaran roda yang tak kunjung mampu mengeluarkan kendaraan dari kubangan lumpur di Simpang Prabu, sekitar 150 kilometer sebelum Boven Digoel dilihat dari arah Merauke, Papua. Satu truk terperosok, belasan kendaraan lainnya pun tak pelak mengantre di belakangnya. Semakin lama kendaraan terjebak lumpur, makin panjang pula antrean.

Para sopir dibantu beberapa warga pun bahu-membahu menarik truk itu keluar dari kubangan. Satu kendaraan terbebas, kendaraan di belakangnya menunggu lagi untuk berjuang di lumpur sebelum dapat meneruskan perjalanan.

Kondisi lazim terjadi di ruas Merauke-Boven Digoel sehabis hujan mengguyur, yakni terutama di ruas jalan tanah sekitar proyek pengerjaan jembatan. Waktu, tenaga, dan uang terbuang karena buruknya kondisi jalan.

Saat ini, hanya kendaraan-kendaraan gardan ganda dengan ban radial yang dapat melayani transportasi warga dari Merauke-Boven Digoel. Tarifnya sekali jalan Rp 700.000 per orang dengan menempuh jarak sekitar 410 kilometer.

Pesawat bisa jadi alternatif. Namun, tarifnya Rp 1 juta per orang untuk menempuh rute Merauke-Boven Digoel selama sekitar satu jam. Asalkan, cuaca memungkinkan pesawat menerbangi rute tersebut.

Meskipun agak terisolasi, Boven Digoel berkembang. Pembangunan infrastruktur berjalan meski agak lamban. Sejarah mencatat, pada zaman Belanda, Digoel merupakan tempat yang terisolasi di tengah lebatnya hutan belantara. Lokasinya terkesan menakutkan. Bukan hanya karena alamnya demikian keras, tetapi juga siksaan kaum kolonialis, tangisan kesedihan, kegeraman, dan kertakan gigi. Bahkan, darah yang tertumpah untuk perjuangan membebaskan dari belenggu kolonialis.

Di masa Belanda, Kabupaten Boven Digoel, yang dikenal dengan sebutan Digoel Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Lokasi ini terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan. Di Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4, disebutkan, Digoel disiapkan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan November 1926″. Boven Digoel kemudian digunakan sebagai lokasi pembuangan pemimpin-pemimpin nasional. Jumlahnya hingga sekitar 1.308 orang.

Di kabupaten tersebut terdapat sejumlah peninggalan Belanda dan para tawanan politik. Di antaranya rumah sakit bestuur (pengurus), penjara bawah tanah, dan makam para tawanan. (MHF/HAM/OTW/CAS)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com