Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bumbu-bumbu dan Tradisi Baru

Kompas.com - 29/10/2013, 12:08 WIB
PERDAGANGAN maritim tidak hanya menempatkan Bugis-Makassar sebagai pemain penting, tetapi juga mengubah sebagian lanskap tradisi makan mereka. Lewat perdagangan, orang Bugis-Makassar, misalnya, mengenal bumbu-bumbu baru seperti cabai dan tomat yang dibawa orang Portugis dan Spanyol awal abad ke-17.

Menurut Penny Van Esterik dalam Food Culture in Southeast Asia (2008), saat itu cabai yang ditemukan Colombus di Benua Amerika diperkenalkan ke Asia Tenggara. Tujuannya untuk menggantikan rasa pedas merica yang ketika itu harganya sangat mahal. Ternyata, tanaman asal Amerika Tengah itu tumbuh subur di Asia Tenggara. Cabai pun dengan cepat menggantikan merica sebagai sumber rasa pedas. Itulah sebabnya, orang menyebut masuknya cabai menggantikan lada sebagai Columbian exchange.

Pedas cabai dan asam menjadi semacam cita rasa dasar hampir semua masakan (lauk) Bugis-Makassar. Namun, rasa asam pada masakan mereka umumnya dihasilkan dari jeruk nipis, bukan tomat. Cita rasa pedas dan asam itu membalut bahan makanan yang umumnya dimasak dengan teknik sederhana, yakni dibakar, dipanggang, digoreng, dan direbus bersama bumbu.

Mari kita lihat bagaimana ibu-ibu di Labakkang, Pangkep, mengolah ikan bolu atau bandeng. Ikan segar yang baru ditangkap dari tambak dibersihkan dan dilumuri garam kasar. Lantas, ikan dibakar begitu saja. Setelah masak, ikan bakar dimakan dengan sambal tomat dan sambal kacang. Meskipun sederhana, percayalah, rasa masakan itu benar-benar nikmat. Sampai-sampai menyantap dua ekor bolu bakar ukuran 30-an sentimeter rasanya masih kurang.

Selain memperkenalkan bumbu-bumbu, perdagangan juga menjadi perantara masuknya Islam ke Sulawesi Selatan pada abad ke-16. Setelah melalui proses yang cukup alot, Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan. Dalam waktu singkat, orang Bugis-Makassar menjadi salah satu penganut Islam paling teguh meski kepercayaan lama tidak hilang begitu saja.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Para penari Paduppa menebarkan beras saat menyambut para tamu dalam sebuah pesta pernikahan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.
Filolog yang menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Kearsipan, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Ahmad Saransi mengatakan, seperti yang terjadi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, kepercayaan lama dan baru mengalami percampuran. ”Kita sulit membedakan keduanya karena sudah menyatu,” ujar Saransi.

Terlepas dari hal itu, diterimanya Islam sebagai agama resmi mengubah hampir seluruh lanskap budaya Bugis-Makassar termasuk tradisi makan. Sejak masuknya Islam, daging babi—yang selama beberapa abad menjadi sumber protein orang Bugis-Makassar—disingkirkan. Resep masakan yang mengandung darah binatang, seperti lawa’ dara, juga ditinggalkan.

Lawa’ dara terbuat dari irisan daging, jantung, hati binatang buruan yang dicampur cabai, garam, dan jeruk. Hidangan itu dimakan mentah-mentah dengan saus darah. Masakan ini dulunya jadi favorit para pemburu. Pelaut asing James Brooke tahun 1840 mencatat, ke mana pun orang Bugis-Makassar berburu, mereka selalu membawa cabai, garam, dan jeruk agar setiap saat bisa membuat lawa’ dara.

Menu itu tidak benar-benar hilang, tetapi mengalami penyesuaian dengan ajaran Islam yang mengharamkan darah. Di Warung Makan Kapurung Kasuari, Makassar, kita bisa menemukan lawa’ terbuat dari ikan mairo (teri) mentah, cabai, garam, jeruk nipis, dan kelapa. Semua bahan mentah dicampur jadi satu dan langsung dimakan. Rasanya pedas, asam, dan gurih. Bau amis ikan tidak terasa lagi karena telah diserap sempurna oleh jeruk nipis.

Ritual masak yang berasal dari masa pra-Islam juga tidak musnah. Sampai sekarang, sebagian juru masak Bugis-Makassar masih menggunakan mantra-mantra masak peninggalan zaman pra-Islam untuk melezatkan atau mencukupkan makanan. Mantra itu antara lain berbunyi: sinru' sinru' sai naninsiru', kaddo' si kaddo' kaddo' tonji, ganna ta ganna sigannakki ... sinru' sinru' sai naninsiru', kaddo' si kaddo' kaddo' tonji, ganna ta ganna sigannakki .... Sendok sendoklah saja dengan menyendok/ makan saling menikmati makan makanan itu juga/ cukup atau tidak cukup akan saling mencukupkan.

”Orang Bugis-Makassar kemudian menambahkan bismillahirrahmanirrahim di bagian awal, dan kun fa ya kun di bagian akhir. Maka, mantra itu berubah jadi doa yang sesuai ajaran Islam,” kata Saransi.

Begitulah, tradisi makan orang Bugis-Makassar terbentuk oleh pertemuan sawah dan laut yang diperantarai sungai. Tradisi makan itu lantas mendapat warna baru dari era perdagangan maritim. Namun, dia tidak berhenti di situ. Tradisi makan terus bergerak seiring dengan perkembangan gaya hidup dan tersedianya bahan makanan baru.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Nelayan menurunkan ikan hasil tangkapan untuk dijual di Pasar Ikan Paotere di Makassar, Sulawesi Selatan.
Makanan berbasis daging sapi seperti coto dan konro sapi sekarang jadi ikon kuliner Bugis-Makassar. Padahal, sampai awal abad ke-20, daging adalah bahan makanan yang hanya disantap di pesta-pesta besar bangsawan. Kalau menengok lebih ke belakang, sampai abad ke-15, sapi belum dikenal di Sulsel. Peternakan sapi baru berkembang abad ke-20 yang bibitnya berasal dari Bali (Reid, 2011).

Seperti masyarakat urban lainnya, orang Bugis-Makassar terutama di Kota Makassar dan sekitarnya telah tiba pada satu titik di mana makan bukan sekadar untuk pemenuhan nutrien, melainkan juga gaya hidup. Nongkrong di warung menjadi kegiatan yang penting. Di sanalah ikatan sosial orang Bugis-Makassar yang hierarkis melonggar, dan gaya hidup yang lebih cair terbentuk. Makanya, orang Bugis-Makassar bilang, demokrasi ada di warung coto. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com