Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warung di Bawah Asuhan Pak Haji

Kompas.com - 30/10/2013, 07:51 WIB
JIKA Aryati dalam lagu ”Aryati” gubahan Ismail Marzuki berada di bawah asuhan rembulan, warung-warung makan terkenal di Kota Makassar berada di bawah asuhan pak haji. Mari kita bertamasya ke sejumlah warung yang tak mungkin salah asuh.

Pelanggan datang bagai gelombang ke Warung Coto Nusantara di Jalan Nusantara, Kota Makassar. Mereka adu cepat mendapatkan satu kursi tersisa untuk menyantap semangkuk-dua mangkuk coto hangat.

Pagi itu, kami berada di sana, duduk berimpitan di kursi yang sempit. Semangkuk coto telah terhidang dengan taburan daun bawang dan seledri. Seperti penggemar coto lainnya, kami menambahkan satu sendok teh sambal tauco, perasan jeruk nipis, dan sedikit garam ke dalam kuah coto. Rasa kuah coto itu menjadi sempurna. Jejak kacang tanah yang gurih berpadu dengan pedas merica dan asam jeruk nipis. Di antara itu terselip rasa tauco yang kuat. Kami menyantap coto daging sapi itu dengan ketupat yang legit.

Serbuan pembeli di pagi dan siang hari ke Coto Nusantara terjadi setiap hari. Pemandangan serupa juga terlihat di warung Pallubasa Serigala di Jalan Serigala yang menyediakan menu pallubasa daging kerbau.

Pallubasa adalah semacam sup berkuah kuning keruh dengan ampas kelapa sangrai. Isinya seperti coto, yakni daging dan jeroan. Jika suka, orang bisa menambahkan telur mentah ke dalam kuahnya yang panas atau biasa disebut ”alas”. Rasa dasar makanan ini asam, gurih, dan pedas dengan jejak kunyit dan kelapa yang kuat.

Tengah hari, pertengahan September lalu, ruang makan Pallubasa Serigala yang memanjang 15-an meter dipadati pengunjung. Belum lagi mereka selesai bersantap, belasan orang yang antre di luar warung sudah berdiri di belakang mereka. Begitu seterusnya, seperti tidak ada habisnya.

Restoran Konro Karebosi di Jalan Gunung Lompobattang juga selalu penuh tamu. Pukul 11.00 ketika juru masak Burhanuddin masih mengolah bumbu kacang untuk konro bakar, beberapa pelanggan telah berdatangan. Mereka hanya perlu menunggu beberapa saat sebelum pelayan membakar iga sapi. Aroma harum melayang ke sekujur restoran itu. Mendekati tengah hari, gelombang pelanggan konro kian banyak.

Merangkak

Begitulah, ada banyak warung coto, konro, dan pallubasa di Kota Makassar. Namun, hanya beberapa warung yang namanya begitu lekat di ingatan banyak orang. Di kelompok coto, warung yang dengan mudah diingat orang, antara lain Coto Nusantara, Aroma Coto Gagak, Coto Paraikatte, Coto Bagadang, dan Coto Pettarani. Di kelompok konro dan pallubasa, ketenaran warung makan Karebosi dan Serigala tampaknya masih sulit ditandingi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Coto.
Warung-warung makan terkenal itu umumnya merangkak dari nol. Pemilik Coto Nusantara, Haji Makmur Daeng Tutu, menceritakan, awalnya warung coto yang didirikan ayah Makmur, Baso Daeng Nasa, tahun 1960 itu sering berpindah-pindah lantaran lokasi dagangnya hanya tumpangan. Meski begitu, warung itu tidak pernah beringsut dari Jalan Nusantara yang berlokasi dekat pelabuhan.

”Kami baru bisa menetap berdagang di sini sejak tahun 1996,” kata Makmur yang mengambil alih warung itu tahun 1972. Makmur tetap berpatokan pada resep yang dibuat ayahnya. Kalaupun ada modifikasi hanya sedikit saja.

Coto ia masak dengan kayu pohon bakau yang asapnya tidak terlalu pekat. Kuali yang dipakai untuk memasak terbuat dari tanah liat. Bumbu kuahnya sama seperti dulu, yakni sereh, lengkuas, kacang tanah, bawang putih, bawang merah, ketumbar, dan merica. ”Kunci penyedapnya masih tetap sama, yakni sambal tauco,” tutur Makmur.

Setelah puluhan tahun berjualan, baru tahun 2010 bisnis cotonya benar-benar meledak. ”Orang datang berbondong-bondong ke warung ini dan rela antre untuk mendapatkan semangkuk coto,” ucap Makmur.

Konro Karebosi juga memulainya dari nol. Haji Ilham Hanafie, putra pendiri Konro Karebosi, Haji Hanaping, mengatakan, almarhum ayahnya memulai usaha pada tahun 1968 di sebelah barat Lapangan Karebosi. Dalam setahun, Sup Konro Karebosi dikenal luas. Sejak buka pukul 17.00, warung itu dipadati pengunjung yang kebanyakan selesai berolahraga di Karebosi. Mereka rela mengantre di warung tenda berukuran 5 meter x 5 meter dan setiap hari lebih dari 300 porsi konro terjual.

Dalam waktu tiga tahun, pada 1971, Hanaping sudah bisa membeli ruko di Jalan Gunung Lompobattang dan memindahkan warung konro ke ruko tersebut hingga kini. Saat mengambil alih usaha dari ayahnya pada tahun 2002, Ilham mempertahankan nama Karebosi. Ia hanya mengubah cara sang ayah dalam berbisnis dengan memperpanjang waktu buka warung, dari pukul 11.00 hingga pukul 23.00 setiap hari.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com