Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Tionghoa dan Arab di Lembah Salaka

Kompas.com - 05/11/2013, 08:53 WIB
”Deep down below us lay a valley of eden,” kata Scidmore, pelancong terkenal asal Inggris, tentang keindahan lanskap kaki Gunung Salak seperti tertulis dalam Buitenzorg Kota Terindah di Jawa, Catatan Perjalanan dari Tahun 1860-1930 karya Ahmad Baehaqie. Di lembah inilah terdapat jejak kehidupan beragam bangsa, termasuk Tionghoa dan Arab.

Hingga 1579, hamparan berbukit di kaki Salaka yang diapit Ciliwung dan Cisadane dan dibelah Cipakancilan terdapat Kerajaan Sunda Galuh dengan ibu kota Pakwan Pajajaran.

Sejak 1619, di sedikit sisa reruntuhan akibat pemusnahan oleh Kesultanan Banten, bangsa Eropa, Tionghoa, Arab, dan Sunda (pribumi) terbangun kawasan bernama Buitenzorg. Inilah cikal bakal Kota Bogor.

Seperti pernah diutarakan oleh Scidmore, keindahan Buitenzorg era kolonial amat terkenal di kalangan pelancong Eropa. Namun, Bogor yang sekarang tidak lagi pantas disebut valley of eden. Lingkungan sekarang sudah semrawut dan tak lagi sejuk.

Namun, masih ada sisa-sisa era Buitenzorg yang bisa dinikmati biarpun terancam sirna. Misalnya, kawasan Tionghoa di Babakanpasar dan Gudang, Bogor Tengah, dan kawasan Arab di Empang, Bogor Selatan. Untuk menyusuri kedua kawasan yang berdekatan, sebaiknya dengan berjalan atau bersepeda.

Sedikit melelahkan, tetapi lebih efektif ketimbang terjebak kemacetan dan kesemrawutan akut di kedua kawasan.

Mari awali perjalanan ke Pulogeulis, Babakanpasar. Di delta Ciliwung ini ada Wihara Mahabrahma (Kelenteng Pan Kho Bio) yang dibangun dalam fase 1619-1743. Inilah tempat ibadah tertua komunitas Tionghoa Bogor. Sebelum dihuni oleh orang Sunda, Tionghoa, Arab, dan pendatang yang kemudian berasimilasi, Pulogeulis diduga tempat pemandian putri-putri Pakwan Pajajaran.

Dalam wihara ada yoni, arca Hindu, patung Kwan Im, tempat dupa berbahan logam kuningan, serta batu petilasan Uyut Gebok, Eyang Jayaningrat, Eyang Sakee, Embah Raden Mangun Jaya, Embah Imam, dan Prabu Surya Kencana. Menurut Sekretaris Wihara Mahabrahma, Candra Kusuma, yoni, arca Hindu, dan batu petilasan ditemukan sebelum pembangunan kelenteng. Patung Kwan Im dan tempat dupa setelah kelenteng dibangun.

Menurut Candra, wihara ini bukan sekadar tempat ibadat umat Buddha, Konghucu, dan Tao. Tempat ini kerap dikunjungi peziarah Sunda Wiwitan, Hindu, dan Islam. Di sini, pernah ada tradisi pencucian barongsai dengan aliran Ciliwung setiap hari kesembilan (Che Kau) sebelum diarak pada hari ke-15 (Cap Go Mei). Sayang, tradisi ini belum terlaksana lagi karena sungai berbau dan tercemar.

Dari Pulogeulis, mari melanjutkan perjalanan ke samping Pasar Bogor, yakni Jalan Kelenteng dan Jalan Pasar. Di sini ada deretan rumah toko dua lantai berornamen kayu dan kaca patri. Usianya lebih dari seabad, tetapi tidak terawat. Masih ada yang menjual celengan, tembikar, anglo, kendil, kendi, piring, dan gelas dari tanah liat, sandal bakiak, keranjang, pengki, besek, baki, serta bakul dari anyaman bambu.

Di belakang Pasar Bogor ada bekas bangunan Kapitan Tionghoa dan Hotel Passer Baroe yang amat menyedihkan. Kedua bangunan ini tertutup semak; banyak coretan; tempat menaruh gerobak, alat pemarut kelapa, dan kandang ternak; dikotori sampah; genangan berbau kurang sedap; ditambah aroma dari lapak kelapa, daging ayam, sapi, dan ikan.

Padahal, menurut budayawan Tionghoa Bogor, Mardi Liem, Passer Baroe dibangun pada 1873 sezaman dengan Hotel Binnenhof (kini Hotel Salak Heritage) dan Hotel Bellevue (pernah menjadi Pasar Ramayana dan kini Bogor Trade Mall). Binnenhof dan Bellevue dikhususkan bagi orang Eropa, Indo-Eropa, dan golongan yang disetarakan. Passer Baroe menjadi pilihan kaum non-Eropa, antara lain Tionghoa dan Arab. Sesudah masa kemerdekaan sampai 1966, hotel pernah dihuni sejumlah keluarga Angkatan Udara Republik Indonesia.

Dari Pasar Bogor bergeserlah ke Jalan Suryakencana yang dulu, yakni Jalan Pos (De Groote Postweg) penghubung Bogor-Sukabumi-Cianjur, diubah menjadi Handelstraat lalu Jalan Perniagaan. Di seberang gerbang utama Kebun Raya Bogor atau di awal Suryakencana terdapat Wihara Dhanagun (Kelenteng Hok Tek Bio). Inilah tempat ibadat kedua yang dibangun komunitas Tionghoa setelah Pan Kho Bio.

Pada zaman kolonial, permukiman di Bogor ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit agar lebih mudah diatur (Wijkenstelsel 1835-1915). Kawasan di kiri kanan Handelstraat di antara Ciliwung dan Cipakancilan untuk komunitas Tionghoa. Diduga, karena kebijakan inilah sebagian komunitas Tionghoa berpindah dari Pulogeulis ke Handelstraat. Di Suryakencana, bangunan rumah toko berderet rapat, tidak atau sedikit halaman, berlantai satu, dua, atau tiga, dan berarsitektur Tionghoa atau Indis.

Menurut Mardi Liem, wihara di utara ibarat kepala naga, sedangkan deretan bangunan di Suryakencana ialah badan naga. Selepas Wijkenstelsel, kalangan pribumi dan pendatang juga bermukim dan bercampur dengan komunitas Tionghoa di kawasan Suryakencana. Kebijakan diskriminatif Orde Baru yang menekan komunitas Tionghoa membuat sejumlah bangunan berarsitektur Tionghoa dan Indis dibongkar menjadi bangunan modern. Namun, masih ada sejumlah bangunan tua, cukup terawat, dan menjadi benda cagar budaya, seperti rumah Kapitan Tan, rumah keluarga Thung, rumah abu keluarga Thung, dan toko roti Tan Ek Tjoan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com