Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembangan Pariwisata Terkendala Infrastruktur

Kompas.com - 13/11/2013, 13:56 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kalau Singapura punya “Your Singapore”, Malaysia punya “Malaysia Truly Asia” dan  Thailand punya “Amazing Thailand” misalnya, maka Indonesia punya “Wonderful Indonesia”. Meski sudah diperkenalkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak Januari 2011, bisa jadi ada dari kita yang belum pernah mendengar slogan tersebut. Jargon itu menggantikan slogan terdahulu, yakni “Visit Indonesia.”

Tak cuma mengubah slogan, Kemenparekraf juga membikin Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) pada tahun yang sama. Pembentukan tersebut bertujuan memaksimalkan promosi wisata di Tanah Air.

Tahun ini Kemenparekraf fokus mempromosikan 16 destinasi wisata. Antara lain Gunung Kelimutu di Flores Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Komodo di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Raja Ampat di Papua.

Sementara tujuh produk wisata andalan yang dipromosikan meliputi kebudayaan dan peninggalan sejarah, wisata alam serta olahraga rekreasi. Ada pula pelayaran, kuliner dan belanja serta kesehatan. Tak terkecuali wisata MICE yang merupakan singkatan dari meeting, incentive, convention, and exhibition.

Kalau Anda sudah pernah mengunjungi tempat-tempat di luar tempat wisata mainstream di Indonesia seperti yang sebagian besar masuk dalam daftar prirotas Kemenparekraf tersebut, Anda pasti tak akan menyangkal jika banyak destinasi elok di bumi nusantara ini. Tempat wisata mainstream ini merujuk pada lokasi-lokasi yang memang sudah dikenal sebagai daerah wisata. Ambil contoh Bali dan tempat-tempat wisata di Jawa.

Namun memiliki koleksi destinasi wisata nan elok saja tidak cukup untuk menggaet para turis. Sebab keelokan aneka destinasi wisata masih memuat kendala besar yakni infrastruktur dan akomodasi. “Menurut saya, tempat wisata di Indonesia jelas lebih baik daripada di Singapura dan Malaysia. Tapi saya harus bilang kalau kualitas akomodasi dan infrastruktur Indonesia lebih rendah,” ujar Clemens Scherrer, wisatawan asal Swiss.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Senja di Pantai Pirimapun, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Papua.
Wisatawan domestik juga menuturkan keluhan senada. Annastasia Puspaningtyas bercerita kerap kesulitan mencari akomodasi berupa tempat menginap di luar tempat wisata utama. Alhasil, mau tak mau, dia harus mencari tumpangan di rumah-rumah milik penduduk.

Kendala lain, perempuan yang akrab disapa Anna tersebut juga kerap kesusahan menjangkau sebuah tempat wisata karena keterbatasan transportasi. Kendala-kendala tersebut tak pernah dia temui kala pernah melancong selama lima bulan keliling Eropa hingga ke kota-kota kecil.

Investasi di Timur

Sedang Muhammad Syarifullah berbagi cerita soal jalan rusak hingga moda transportasi yang berjumlah minim di beberapa destinasi wisata yang pernah dia kunjungi. Bahkan, kendala ini juga masih dia alami di Jawa. Pria yang bekerja di perusahaan public relation ini menuturkan pengalaman melewati jalan yang mayoritas rusak ketika akan mengunjungi tempat wisata Ujung Genteng di Sukabumi, Jawa Barat.

Bagi pelaku bisnis, kendala infrastruktur menghambat minat mereka untuk mengembangkan daerah wisata di luar wisata mainstream. Padahal ketika bicara soal industri pariwisata, ada banyak komponen bisnis di dalamnya. Antara lain bisnis hotel, restoran dan penyedia jasa transportasi. Ada pula bisnis agen perjalanan, industri kecil menengah (IKM) yang banyak memproduksi aneka cindera mata hingga bisnis pertunjukan tradisional.

Direktur Eksekutif Persatuan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Cyprianus Aoer, mengakui saban tahun jumlah hotel dan restoran memang mengalami pertumbuhan jumlah berkisar 5-7 persen. Hingga tahun depan, PHRI mempekirakan akan ada penambahan 50.000 kamar hotel. Namun dia mengakui mayoritas hotel masih terpusat di Bali, Jakarta, Bandung, dan Makassar.

Dok. Hotel Santika Tasikmalaya Kamar di Hotel Santika Tasikmalaya
Alhasil penyebaran hotel dan restoran di Indonesia tak merata. Ini terjadi lantaran ketimpangan infrastruktur yang belum semua tergarap maksimal. “Ini menjadi kendala bagi hotel atau restoran untuk membuka cabang,” kata Cyprianus.

Vivi Herlambang, Manajer Komunikasi PT Grahawita Santika (Grup Santika) mengamini pendapat tersebut. Selain potensi pasar (baik berupa potensi wisata ataupun potensi bisnis) di suatu daerah serta kompetitor, Grup Santika mempertimbangkan load factor dan infrastruktur dalam berinvestasi.

Load factor ini misalnya berupa moda transportasi yang menjangkau daerah tersebut dan berapa kali transportasi tersebut beroperasi dalam sehari. Sementara infrastruktur tak hanya bicara soal ketersediaan jalan yang nyaman tetapi juga sokongan aliran listrik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com