Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyesap Kedamaian di Tengah Kota Nagoya

Kompas.com - 05/12/2013, 13:11 WIB
Glori K. Wadrianto

Penulis

JAM menunjukkan pukul 09.20 saat pesawat Singapore Airlines yang kami tumpangi mendarat di Chubu Centrair International Airport. Keriuhan dan hilir mudik penumpang yang menjadi pemandangan khas di terminal udara terlihat jelas di bandara itu.

Selepas pemeriksaan petugas imigrasi, mata kami tertuju pada sejumlah orang yang berdiri sambil mengangkat tinggi selembar kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak mereka jemput.

Deretan kios pun terlihat di sana. Ada yang menjual makanan ringan, suvenir dan juga lapak penukaran mata uang asing. Kami sempat singgah sejenak untuk menukarkan mata uang dollar AS dengan pecahan Yen Jepang. Untuk 100 dollar AS, kami mendapatkan uang penukar sebesar sekitar 9.700 Yen.

Tak memerlukan waktu lama, kami pun bisa langsung melanjutkan perjalanan ke hotel dengan menumpangi kereta yang terminalnya terkoneksi di dalam areal bandara yang berdiri daratan buatan, di selatan kota Nagoya.

Setelah menempuh perjalanan selama 40 menit dengan kereta bertarif 200 yen, kami tiba di terminal Sakae. Ramai. Hilir mudik manusia terlihat tak terputus di terminal bawah tanah itu. Tapi semuanya berjalan lancar dan sangat teratur. Bahkan tak terdengar keriuhan yang mengganggu di telinga.

Antrean yang mengekor pun tak menghambat keluar masuk penumpang dari gerbong-gerbong kereta yang baru tiba. Bahkan, para lansia yang berjalan tertatih dengan tongkat di tangan pun bisa dengan mudah menggunakan sarana transportasi publik ini.

KOMPAS.COM/GLORI K WADRIANTO Stasiun Nagoya di Jepang.
Sulit memang untuk tidak membandingkannya dengan suasana stasiun kereta api di Jakarta yang juga ramai, tapi riuh dan gaduh. "Lihat deh, mereka antre pas di garis, rapi bener ya?" ungkap salah satu teman seperjalanan sambil menunjuk deretan penumpang yang tengah menunggu datangnya kereta.

Antrean penumpang memang terlihat sangat teratur. Mereka berdiri sesuai garis marka yang disediakan. Posisinya menyerong, sehingga tak mengganggu lalu lalang orang yang melintas. Seluruh calon penumpang yang berada di antrean terdepan pun berdiri di belakang garis kuning, sekira satu meter dari pintu gerbong.

Teratur dan Bersih

Kesan tertib dan teratur yang menyambut kedatangan kami di kota terbesar di wilayah Chubu ini terus berlanjut saat kami keluar dari Stasiun Sakae. Keramaian yang kami jumpai di bawah tanah tadi, kini seolah hilang. Hanya udara dingin bersama embusan angin yang terasa menusuk kulit.

Sebutan sebagai salah satu kota urban terpadat di Jepang pun tak terlihat. Hanya ada beberapa mobil yang berjajar di belakang garis putih menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Jarak antrean antara satu mobil dengan mobil lainnya pun sangat teratur, berkisar tiga atau empat meter. Hening, tanpa polusi suara dari klakson mobil atau raungan mesin yang mengembuskan asap tebal dari knalpotnya. Tak ada pula debu yang beterbangan di sisi jalan raya.

Di sisi jalan, tersedia trotoar yang lebarnya separuh badan jalan utama. Dipagari pohon-pohon nan asri, trotoar yang besar itu memungkinkan para pejalan kaki berbagi ruang dengan para pengendara sepeda.

Ya, selain kereta, sepeda menjadi pilihan alat transportasi bagi warga Nagoya. Buktinya, selama kami berjalan kaki di seputar kota itu, selalu terlihat para pesepeda yang melintas silih berganti.

KOMPAS.COM/GLORI K WADRIANTO Lalu Lintas di Kota Nagoya, Jepang.
Menariknya pula, banyak bahkan hampir semua pengendara sepeda itu adalah mereka yang berpakaian rapi khas pekerja. Para lelaki mengenakan jas, celana pantalon dan sepatu kulit, lengkap dengan tas laptop di punggung.

Sementara para perempuan memakai rok lebar dengan balutan stocking dan sepatu boot, atau ada juga yang memakai celana panjang lengkap dengan blazer dan tas kulit yang disampirkan di pundak.

Belum lagi, areal parkir sepeda juga terlihat menyebar di hampir setiap sisi trotoar. Sepeda-sepeda itu terparkir rapi, tanpa mengganggu ruang bagi pejalan kaki. Sangat terasa, sepeda merupakan bagian dari kehidupan keseharian warga di sini. (Bersambung...)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com