Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Bungkul, Oase di Tengah Kota Surabaya

Kompas.com - 16/12/2013, 17:15 WIB
KETIKA terik matahari berada tepat di ubun-ubun, mampirlah ke Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo, Surabaya, Jawa Timur. Di taman ini, panasnya suhu udara dan kepenatan akan lenyap seketika karena rimbunnya pepohonan. Angin segar menerpa....

Seperti dilakukan Yudha (47), pegawai swasta, yang setelah memarkir motornya langsung menuju salah satu sudut Taman Bungkul. Ayah dua anak ini langsung membuka komputer jinjingnya. ”Saya sering singgah di taman ini untuk memantau laporan bawahan dan mengecek surat elektronik. Di sini, kan, koneksi nirkabel atau Wi-Fi gratis sambil ngadem,” kata manajer pemasaran perusahaan otomotif itu.

Menghabiskan waktu di Taman Bungkul sambil menggarap pekerjaan dan menemani anak-anak bermain sepuasnya juga sering dilakukan Yenni (35), warga Jalan Gayungsari, Surabaya.

”Kalau sedang banyak pekerjaan dan tetap bisa menemani anak bermain, Taman Bungkul pilihannya. Ada Wi-Fi. Kalau mau makan, tinggal pilih karena banyak warung dan sangat teduh serta nyaman,” paparnya.

Taman Bungkul, demikian namanya, karena bersebelahan dengan makam Ki Ageng Bungkul atau Mbah Bungkul. Taman ini memang berbeda dengan taman lain. Taman ini selalu dipadati pengunjung untuk melakukan beragam aktivitas, termasuk kegiatan sosial. Dari sisi ekonomi, ada sentra pedagang kaki lima. Dari aspek sosial dan pendidikan, taman ini menjadi tempat bermain, perpustakaan gratis, jaringan internet gratis, jalur olahraga, dan ruang terbuka hijau untuk warga berkumpul.

Beragam aspek

Keunggulan taman yang diresmikan pada 11 Agustus 2009, dengan luas 10.000 meter persegi ini, dibandingkan dengan taman lain di dunia adalah keberhasilan memadukan aspek religi, budaya, ekonomi, wisata, olahraga, dan pendidikan di satu tempat. Dari aspek budaya dan religi, di taman itu ada makam Mbah Bungkul, ulama pada zaman Majapahit, sehingga taman ini tak pernah sepi.

Semua aspek terpenuhi, faktor utama bagi Taman Bungkul mendapatkan penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa berupa The 2013 Asian Townscape Sector Award. Penghargaan itu telah diterima Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Fukuoka, Jepang.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo, Surabaya, Jawa Timur.
Seperti Selasa (3/12/2013), matahari pun sudah condong ke barat. Sepuluh anak terlihat asyik bermain sepak bola di arena pertunjukan berdiameter 40 meter di tengah Taman Bungkul. Mereka seakan tak peduli dengan pengunjung lain yang duduk di pinggir arena pertunjukan dan juga terlihat asyik sendiri. Ada yang asyik mengobrol dengan pasangannya, sementara yang lain memainkan komputer jinjing dan gadget-nya.

”Setiap sore, aku main bola di sini,” kata Arif (13), yang mengenakan kostum salah satu klub sepak bola dari Inggris. Saat bermain, siswa kelas VIII ini bergonta-ganti posisi.

Keunggulan Taman Bungkul dibandingkan dengan taman lain pun diungkap Heri (26), warga Surabaya. Meski cuaca panas terik, Taman Bungkul tetap adem. Cahaya terik matahari tak kuasa menembus hingga arena bermain anak-anak karena berada di bayangan pepohonan yang rindang. Itulah yang membuat Selvi (2) dan anak-anak lain tetap asyik bermain kuda-kudaan, ayunan, dan luncuran.

Heri duduk tak jauh dari tempat putri kecilnya yang bermain kuda-kudaan. Sambil menyeruput segelas kopi hitam, dia sesekali mengingatkan putrinya agar berhati-hati.

Sementara itu, petugas kebersihan terus bekerja. Setelah menyemprot dan menyikat pelataran taman berlantai keramik, mereka menyapu dan mengepelnya. Daun yang rontok dan sampah pun tak terlihat mengotori pelataran taman.

Heri menuturkan, Taman Bungkul menjadi salah satu tempat andalan untuk menenangkan anak-anaknya saat rewel. Dengan sepeda motor, dia hanya butuh 10 menit untuk mencapai taman dari rumahnya di kawasan Banyu Urip. Untuk menikmati suasana taman yang nyaman dengan sarana lengkap, dia cukup mengeluarkan ongkos parkir sepeda motor Rp 2.000. Selebihnya untuk jajan putrinya.

Beberapa pengunjung terlihat asyik membaca, termasuk meminjam buku dari perpustakaan keliling yang setiap hari hadir di taman itu. Pengunjung lain berjalan di atas bebatuan tanpa alas kaki. Tidak sedikit pula yang terlihat masuk keluar area makam Mbah Bungkul.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com