Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warisan Kolonial dan Sejarah Sosial Kereta Api

Kompas.com - 20/12/2013, 12:37 WIB
STASIUN Kereta Api Kota Bandung, Jawa Barat, pintu selatan pagi hari sudah sibuk. Sorot matahari mengintip malu-malu dari sisi timur bangunan stasiun.

Cahayanya menjilat dinding kiri stasiun dengan warna kuning keemasan, tanda baru terbit. Sepagi itu calon penumpang yang berjalan bergegas masuk stasiun sudah berdatangan. Di depan stasiun ada terminal angkutan kota, dan penjaja sarapan pagi bubur ayam, gorengan, dan roti kukus sudah memulai hari.

Meskipun stasiun ini mulai beroperasi sejak 17 Mei 1884, bersamaan dengan peresmian jaringan KA Bandung-Batavia (Jakarta) lewat Bogor, stasiun pada bentuknya sekarang merupakan hasil rancangan tahun 1928 oleh arsitek Belanda, EH de Roo. Dia adalah arsitek yang juga membangun Gedung Sate, gedung pusat pemerintahan kolonial Belanda di Bandung. Pada dekade 1920-an, Belanda hendak memindahkan ibu kota Pemerintah Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) membawa kami, rombongan sejumlah wartawan, menyusuri bangunan dan benda sejarah yang kini dimiliki badan usaha milik negara itu beberapa saat lalu. Sungguh luar biasa memahami bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda masa itu sudah memulai pekerjaan memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Bandung.

Pemerintah Kerajaan Belanda membangun aneka bangunan pemerintahan, termasuk stasiun, seolah-olah kolonialisme akan hidup selama-lamanya di negeri jajahan. Ekonomi kerajaan Belanda akan runtuh tahun 1930-an saat zaman malaise (krisis ekonomi), dan kemudian makin hancur oleh okupasi Nazi Jerman masa Perang Dunia II. Karena itu, ibukota tetap di Jakarta sampai sekarang.

Militerisme dan ekonomi merupakan alasan utama pendirian jejaring jalan dan bangunan stasiun KA di Jawa, banyak dokumen yang menyebutkan itu. Jadi, mempelajari stasiun tua dan jaringan kereta api ini seolah-olah seperti kegiatan otopsi dalam kedokteran forensik untuk menyelidiki motif di belakang kepala perancang kolonialisme Belanda terhadap negeri jajahannya ini.

Memindahkan ibu kota merupakan pekerjaan raksasa karena ada 14 kantor yang hendak dibangun, ditambah perumahan bagi 1.500 pegawai meneer Belanda. Karena itu, karakter bangunan-bangunan era kolonial di Bandung dikerjakan sebagai bentuk premium keterampilan arsitektur bangunan zamannya. Bangunan dihiasi dengan jendela kaca patri dan mengundang para pengukir bong pay (kuburan orang Tionghoa).

Juga terasa luar biasa memahami sejumlah bangunan transportasi utama zaman itu, stasiun dan rel kereta api, yang dibiayai dengan amat mahal bermunculan di desa-desa kecil di sepanjang rute jalurnya. Dari Bandung ada stasiun-stasiun dan emplasemen, seperti Kiaracondong, Tanjungsari, Rancaekek, Cicalengka, Citiis, Lebakjero, Cimanuk, Cibatu, lalu Nagreg di titik tertinggi 848 meter di atas permukaan laut.

Kemudian Ciherang dan Cipendeuy yang dikenal sebagai tempat istirahat kereta setelah melintasi jalur naik turun pegunungan. Muncul pertanyaan besar, kenapa dan atas pertimbangan apa kelayakan lokasi-lokasi desa ini.

Menembus bukit

Apa yang hendak dituju pemerintah kolonial? Sumber komoditas ekonomi apa atau ancaman militer apa sehingga jalur selatan rel Jawa ini dibangun, menembus bukit dengan membuat terowongan, mendirikan jembatan-jembatan melintasi jurang setinggi puluhan meter di antara pegunungan wilayah Priangan.

Jelas dibutuhkan keterampilan arsitektur dan engineering yang amat tinggi untuk merencanakan dan melaksanakan pembuatan struktur transportasi dengan segala kesederhanaan teknologi zaman itu. Stasiun Cibatu kini sebuah stasiun kecil dari jaringan rel KA lintas selatan Jawa adalah contohnya. Cibatu, sebuah kota kecamatan yang sejuk, berada di wilayah Kabupaten Garut sekarang.

Pada masa awal pembukaan jalur kereta api oleh Belanda di Jawa, kota kecil di Cibatu ini ditetapkan sebagai pusat bengkel lokomotif uap masa kolonial. Salah satu dokumen yang menyebut bengkel lokomotif yang disebut ”depo” ini pernah mempekerjakan 700 orang. Pastilah mereka pekerja lokal pribumi.

Menurut Maman (50-an), pegawai PT KAI di Stasiun Cibatu yang kini bertugas sebagai pengelola di bawah Divisi Heritage Non Bangunan PT KAI, depo ini ditutup tahun 1980-an. Sebab, lokomotif uap sudah ketinggalan teknologi dan nilai ekonomi. Lokomotif uap (kepala rangkaian KA) sejak 1983 sepenuhnya dimuseumkan.

Saat ditutup, depo ini masih mempekerjakan 400-an orang, tambah Maman. Jumlah yang besar. Maka, dengan segera muncul tanda tanya tentang hidup dan sejarah mereka, para buruh kereta api ini, untuk dilihat sebagai kesatuan dari kekayaan warisan (heritage).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com