Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokar Wonosobo, Bertahan di Tengah Impitan Ojek dan Angkot

Kompas.com - 20/12/2013, 13:55 WIB
SELAMA puluhan tahun dokar atau andong menjadi andalan utama transportasi rakyat di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Hingga kini, dokar masih mendapat tempat di hati warga. Walau harus bersaing ketat dengan angkutan kota dan ojek, transportasi yang menggunakan tenaga kuda tetap eksis di kota dingin ini.

Segelintir warga Wonosobo, terutama simbok-simbok (ibu-ibu) yang berbelanja ke pasar, masih tetap setia dengan dokar. Kendati demikian, kehadiran mobil dan sepeda motor yang perlahan-lahan menggeser peran dokar sebagai alat transportasi rakyat ini menjadi ancaman yang terus membayangi eksistensi dokar.

Lalu, mengapa transportasi ini masih menjadi pilihan rakyat setempat? Selain karena ikatan emosional yang tercipta antara pelanggan dan sang kusir atau sais selama puluhan tahun, kondisi alam di Wonosobo yang sejuk menjadikan warga memilih naik dokar.

”Kami sudah kenal lama dengan sais-saisnya, jadi tiap belanja ke pasar lebih enak naik dokar. Lagian kalau naik dokar kan enggak kepanasan, banyak anginnya,” kata Sriyati (60), warga Wonosobo yang mengaku telah puluhan tahun pakai dokar.

Di luar alasan itu, bagi sejumlah warga, mereka masih setia dengan dokar karena ongkosnya tidak jauh beda dengan angkot, yakni sekali jalan sekitar Rp 2.000. Jika membawa belanjaan yang banyak, cukup bayar Rp 10.000 bisa pakai satu dokar.

Kendati demikian, hampir semua para sais dokar mengaku dalam 10 tahun terakhir, bahkan dalam lima tahun terakhir, jumlah penumpang dokar menurun drastis. Dampak yang paling dirasakan, pendapatan para sais tiap hari makin menurun.

”Enggak mesti dapat berapa. Kadang sehari cuma Rp 20.000, kadang bisa sampai Rp 40.000. Dapat Rp 50.000 sudah untung. Itu pendapatannya masih kotor karena mesti dikurangi makanan kuda sekitar Rp 10.000 sampai Rp 20.000,” ujar Edi Santoso (31), sais dari Desa Sarwodadi, Kecamatan Tawangsari.

Edi yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi sais mengaku dari tahun ke tahun pendapatannya makin tak tentu. ”Sekarang kuda kalah sama mesin,” kata Edi, yang saat bertemu Kompas sedang mangkal di salah satu ujung jalan, tak jauh dari Alun-alun Wonosobo, beberapa waktu lalu.

Jual dokar

Derasnya tekanan transportasi modern juga dirasakan Marmo (63), sais dokar asal Desa Jogoyitnan, Wonosobo, yang menjadi kusir sejak 1970-an. Sejak dulu ia punya tiga dokar dan kuda. Namun, lima tahun lalu, Marmo terpaksa menjual dua dokar beserta kudanya karena pendapatan yang diterima tidak seimbang dengan biaya perawatan kuda. Yang terakhir dokar dan kuda dia jual Rp 6 juta.

”Enggak kuat lagi, lebih baik dilepas,” katanya saat ditemui sedang mangkal di bagian selatan Pasar Induk Wonosobo, salah satu pangkalan dokar yang dikenal dengan sebutan Jalan Pasar 2. Tempat lain yang menjadi lokasi mangkal dokar adalah Jalan Pasar 1 yang terletak di Jalan Resimen Wonosobo, serta kompleks Pasar Sapen. Lokasi Pasar Sapen juga berfungsi sebagai tempat pembuangan kotoran kuda.

Meski tidak terlalu menjanjikan, Marmo mengaku akan tetap menjadi sais dokar hingga masa tuanya nanti. Dia bahkan dengan bangga menunjukkan surat izin mengemudi (SIM) dokar yang sudah habis masa berlakunya, yakni November 2006 lalu. Selain SIM Dokar, para pemilik sais juga harus mengantongi Surat Izin Operasional Dokar (SIOD).

Ketua Sais Dokar Kereta Jaya Wonosobo Ngadiyo (51) mengungkapkan, pada tahun 1980-an jumlah sais dokar di Wonosobo mencapai hingga 600 orang. Namun, sejak lima tahun terakhir ini jumlahnya terus berkurang. Saat ini hanya tersisa sekitar 250 sais. Ratusan sais terpaksa memilih beralih pekerjaan lain.

”Sekarang banyak hijet (angkutan kota) dan honda (ojek). Terminal induk buat dokar juga sudah enggak ada. Dokar kayak anggang-anggang di kolam, enggak naik enggak turun,” katanya.

Bagi Ngadiyo, mati hidupnya transportasi tradisional di Wonosobo ini juga sangat bergantung pada kepedulian pemerintah. Selain memberi wilayah bagi dokar untuk beroperasi di wilayah yang tidak berebutan dengan angkutan kota, pemerintah setempat diharapkan membantu para sais setidaknya untuk mendukung operasional koperasi sais.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com