Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Rantai" Itu Masih Membelenggu Keturunan Mereka

Kompas.com - 29/12/2013, 17:08 WIB
DHULUR Tunggal Sekapal. Papan nama yang sudah lapuk dimakan hujan itu menggantung di teras rumah Kadul (55), di Tangsi Baru, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Papan itu sama lapuknya dengan sofa tempat Kadul biasa mencari udara segar dari terpaan hawa panas sehari-hari.

Sofa itu sudah robek di sana-sini. Busanya sebagian sudah hilang dan menyisakan ceruk yang menampakkan kerangka kursinya saja. Namun, Kadul tidak bisa membuang sofa butut itu karena benda tersebut masih sangat berharga baginya. Setiap hari ia menerima tamu, yang kebanyakan adalah teman- temannya.

Nama aslinya adalah Sukadi, tapi ia lebih suka dipanggil Kadul. Jangankan mengganti perangkat rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Kadul kesulitan. Ia tinggal di rumah kayu peninggalan kakeknya bersama anak, menantu, dan tiga cucunya. Dinding rumah kayu itu sudah berlubang di sana-sini dan lapuk karena dimakan usia.

Kalimat Dhulur Tunggal Sekapal (saudara satu kapal) menjadi semacam pengingat bagi Kadul dan juga ribuan orang di Sawahlunto lainnya akan keberadaan mereka di kota batubara itu. Mereka adalah keturunan orang rantai.

Orang rantai adalah pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Sawahlunto untuk menggali tambang batubara dan menyiapkan infrastruktur untuk keperluan tambang. Belanda mendatangkan orang rantai dari penjara-penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar dari daerah Pulau Jawa lainnya.

Mereka didatangkan pada kurun 1892-1938 dengan kapal-kapal penumpang yang mengangkut orang-orang Belanda dan Eropa. Sepanjang perjalanan, kaki dan tangan para tahanan itu dirantai dengan rantai besi.

Selama pelayaran yang memakan waktu 3-5 hari, orang rantai ditempatkan di dek-dek pengap di bagian lambung kapal dan berdesak-desakkan. Mereka yang melawan diancam hukuman cambuk atau diceburkan ke laut. Penderitaan selama pelayaran ini memunculkan tekad bersaudara di antara sesama orang rantai, terutama yang berasal dari Jawa.

Orang rantai ini dibawa menuju pelabuhan kecil Teluk Bayur di kota Padang. Di sana mereka kemudian membangun pelabuhan besar untuk keperluan batubara yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Emma Haven. Orang rantai juga dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto.

Tahanan orang rantai ini kemudian digiring menuju Sawahlunto untuk masuk ke lubang-lubang gelap perut bumi Sawahlunto guna menggali batubara di tambang Ombilin (Sawahlunto). Arang hitam itu diangkut dengan kapal-kapal ke Belanda dan sebagian dikirim ke luar Sumatera untuk keperluan kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kapal perang Belanda untuk menyerang Aceh.

Rantai besi

Selama bekerja di luar tambang, orang rantai ini tetap memakai rantai besi di tangan dan kaki mereka. Sebagian diikat rantai pada tubuhnya karena dianggap memiliki kesaktian. Orang rantai baru dilepaskan ikatan rantainya ketika mereka masuk ke terowongan tambang batubara.

”Mereka dijaga dengan senapan di pintu masuk tambang sehingga tidak mungkin melarikan diri,” kata Fahrie Ahda, sejarawan muda Sawahlunto.

Saridan (76) masih ingat bagaimana ayahnya, Wongso Karyo, dibuang ke Sawahlunto dari Yogyakarta dan menjadi orang rantai. Wongso ditahan Belanda karena membunuh orang. Saridan dan ibunya kemudian ikut dibawa ke Sawahlunto. Namun, sang ibu kemudian dibawa Belanda ke perkebunan teh di Kerinci dan tidak pernah kembali lagi.

Saridan kecil selalu ikut ayahnya bekerja. Ia masih memendam ingatan, bagaimana ayahnya mengangkat-angkat baja berat untuk membuat rel kereta api. Jika jatuh, ayahnya dipukuli opsir Belanda dengan tali tebal terbuat dari getah karet.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Lubang Mbah Soero di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Tambang batubara memunculkan eksploitasi anak. Kadul yang juga keturunan orang rantai mengatakan, kakeknya bercerita bahwa anak-anak dari Jawa ini diculik oleh orang kampung mereka sendiri yang menjadi kaki tangan Belanda. Mereka kemudian menyebarkan rumor bahwa anak-anak mereka dibawa makhluk halus.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com