Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ritual Khitan di Banyuwangi, Kepala Ditetesi Darah Ayam

Kompas.com - 15/04/2014, 07:05 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Wajah Rafael Galih Prakoso, siswa kelas 3 SDN 1 Glagah, terlihat tegang. Ia membuka bajunya dan hanya mengenakan celana pendek berwarna biru. Kemudian duduk di atas dingklik atau kursi kayu kecil di pelataran rumahnya.

Rumah Rafael berada di Dusun Melatan Lingkungan Tembakon, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di depannya terlihat beberapa sesaji dan anak-anak kecil yang duduk mengelilingi Rafael yang telah telanjang dada.

Di bawah kakinya juga diletakkan sapu lidi. Sesekali pemimpin ritual mengusap kelapa Rafael sambil merapalkan doa. Sehari sebelum disunat, Rafael mengikuti sebuah tradisi dari Suku Using.

Sanusi Marhaedi (55) pemimpin ritual menjelaskan dalam tradisi Koloan atau ritual khitanan, sang anak yang akan dikhitan harus ditetesi darah ayam. "Ini sudah tradisi sunatan warga Using, warga asli Banyuwangi," katanya kepada Kompas.com.

Setelah doa menggunakan Bahasa Using, sambil mengusapkan bedak di wajah Rafael, Sanusi dibantu salah satu warga sekitar mulai menyembelih ayam jago warna merah. Darah segar yang keluar dari leher ayam menetes di atas kepala bocah dan mengalir di bahu dan tubuh Rafael dalam beberapa menit hingga ayamnya mati.

"Syaratnya, ayam yang dipilih harus berbulu merah dan belum kawin," tuturnya.

Setelah itu Rafael dikawal Sanusi ke sungai dan dimandikan. Saat melangkah, Rafael juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah.

"Koloan ini artinya jebakan. Upacara ini dilakukan agar bocahnya siap karena biasanya kan anak takut kalau mau sunat," kata Sanusi.

KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Tradisi koloan ditutup dengan makan bersama.
Sanusi menjelaskan  menyembelih ayam merupakan simbol pengorbanan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Ritual diakhiri dengan makan bersama di halaman rumah Rafael dengan menu khas Using yaitu pecel pithik yang dikuti oleh warga sekitar.

"Semoga nantinya bocah yang telah disunat bisa meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan," jelasnya.

Sementara itu Rafael, mengaku setelah mengikuti ritual Koloan ia tidak lagi takut saat akan disunat. "Darahnya hangat pas mengalir di tubuh. Tadi habis dimandikan di sungai saya jadi nggak takut pas mau disunat," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Supriadi (41), ayah dari Rafael. Ia mengaku sengaja menggelar tradisi Koloan agar sang anak sehat dan menjadi anak yang berbakti setelah disunat. Selain itu juga untuk meneruskan tradisi masyarakat Using.

"Agar tradisinya tidak hilang, karena banyak warga Using yang sudah tidak lagi melakukan tradisi Koloan," tambah Supriadi.Hal senada juga diungkapkan Supriadi (41), ayah dari Rafael. Ia mengaku sengaja menggelar tradisi Koloan agar sang anak sehat dan menjadi anak yang berbakti setelah disunat. Selain itu juga untuk meneruskan tradisi masyarakat Using. "Agar tradisinya tidak hilang, karena banyak warga Using yang sudah tidak lagi melakukan tradisi Koloan," tambah Supriadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com