Cuaca cerah dibingkai langit membiru dengan trek trail yang beragam dari jalan aspal, bebatuan, tanah, serta humus di hutan pinus membuat suasana lari menyenangkan. Minggu pagi itu sekitar 250 penggemar olahraga lari dari Bandung dan Jakarta dan sekitarnya berdatangan ke kawasan wisata dengan ketinggian 2.434 di atas permukaan laut (dpl) itu.
Pagi yang cerah, udara sejuk, menyergap tubuh di daerah yang bisa bersuhu antara 8-22 derajat celsius itu. Mereka memenuhi undangan Kindeuw Runners, komunitas lari trail— dibaca mudah trel—di Bandung yang membuat acara ”Food, Fashion and Trail Fun Run di Kawah Putih”.
”Saya berenam dari Jakarta berangkat pukul 02.00 untuk ikutan acara ini,” ujar Ira Roso, penyuka lari dari Jakarta.
Adapun Zihan Alaktiri bersama teman-temannya berangkat dari Jakarta menggunakan travel pada Sabtu sehari sebelumnya. Mereka merapat ke toko outdoor Eiger di Jalan Sumatera, Bandung, untuk mendaftar ulang ikut lelarian di Kawah Putih. ”Dari Bandung, kami bersepuluh menyewa angkot ke Kawah Putih, beberapa malah baru kenal di Eiger. Seru, sih, apalagi malamnya kami menginap di tenda,” ujar mahasiswi Universitas Binus Jakarta itu.
Selain tenda yang nyaman, panitia juga menawarkan menginap ”kelas hotel” di Patuha Resort. Tenda maupun kamar hotel dibuat untuk guyub sehingga satu tenda diisi empat orang dan kamar hotel tiga orang. Lainnya bisa menginap di sejumlah penginapan atau vila sewaan yang banyak ditawarkan di sepanjang jalan Ciwidey menuju Kawah Putih.
Mereka yang tinggal di Bandung memilih berangkat subuh dari ”Kota Kembang” itu, menggunakan sepeda motor atau saling menumpang mobil. ”Saya pakai motor. Berangkat pukul 5 pagi, lupa pake sarung tangan. Dingiiin banget, telapak tangan sampe terasa beku,” ujar Dasin. Untuk mencapai kawasan itu, mereka yang dari arah Jakarta bisa keluar di pintu Tol Kopo, lanjut ke arah Soreng, Bandung.
”Saya sengaja bawa anak-anak biar mereka mengenal alam juga,” kata Dwey Wahyu yang dari Bandung datang bersama istri dan dua anak balitanya.
Pemandangan menakjubkan
Panitia menyiapkan segalanya seperti layaknya sebuah perlombaan. Garis start/finis, water station, maupun pisang tersedia di beberapa lokasi, umbul-umbul serta para penunjuk jalan semua dibuat persis seperti lomba lari trail benaran. Pilihan ngetrail di Kawah Putih ini terasa pas. ”Kita lari rata-rata di ketinggian 2.200 dpl,” ujar Aki.
Tidak heran jika pada kilometer pertama, para pelari—terutama pemula—terasa sesak saat melangkahkan kaki. Paru-paru terasa berat, jantung berdetak kencang. Selanjutnya adalah lelarian yang menyenangkan. Setelah menanjak di trek makadam, kami memasuki kawasan kebun teh. Trek dibuat meliuk-liuk, menurun menanjak di antara daun-daun hijau yang terhampar seperti permadani hijau.
Perlu tambahan semangat jika sesekali melihat teman-teman yang jauh berada di depan, sudah berada di ketinggian. Sebaliknya, langkah terasa ringan jika melihat para pelari di bawah karena itu artinya kita akan menuju turunan.
Setelah menerabas perkebunan teh, pada satu kilometer terakhir kami memasuki hutan pakis. Berlari di antara pakis terasa lebih ringan karena tanahnya lebih gembur. Telapak kaki terasa membal menapak humus.
Selepas itu, 500 meter terakhir, wow! Kawah Putih! Dari ketinggian tampak kawah yang terbentuk akibat letusan Gunung Patuha, sebuah andesitic stratovolcano atau gunung berapi yang berwarna hijau keputihan. Misterius, diam, dengan asap dan kabut mengepul perlahan. Kabut yang mengalun di atas danau kawah membuat permainan warna yang menakjubkan. Kontras dengan dinding-dinding tebing dari batu kapur putih yang mengitari danau kawah.
Kawah yang disebutkan terbentuk akibat ledakan Gunung Patuha sekitar abad ke-10-11 itu juga dihubungkan dengan Dr Franz Wilhelm Junghuhn, Bapak Kina Indonesia. Peneliti dari Jerman itu pernah melakukan penelitian kandungan belerang di kawasan itu pada tahun 1837.
Alih-alih menyelesaikan 200 meter terakhir berpacu menuju finis, para peserta lari trail Kawah Putih malah banyak yang berlama-lama berpotret di sekitar kawah. Semua gaya dikerahkan, berpotret bersama teman atau menggunakan tongsis alias tongkat narsis. ”Lagian saya, tuh, pertama kali banget ke Kawah Putih, udah ada rencana dari dulu, tapi enggak pernah terwujud,” ujar Zihan. Klik! (Agus Hermawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.