Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendidik Seniman Ukir Jepara

Kompas.com - 05/06/2014, 11:39 WIB
UKIR dan kayu merupakan napas hidup perekonomian Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ada 3.995 unit usaha dengan 62.524 tenaga kerja yang tersebar di 15 dari 16 kecamatan yang bergantung pada ukir dan kayu. Pertumbuhan kerajinan rakyat menjadi industri itu tidak terlepas dari peran RA Kartini dan sekolah pertukangan ukir Openbare Ambachtsschool Jepara.

Jejak perjuangan RA Kartini dan berdirinya sekolah ukir pertama di Indonesia itu ada di SMP Negeri 6 Jepara. Jejak itu berupa beragam hasil ukiran dan gedung kuno Sasono Adhi Praceko yang menyimpan ukiran-ukiran tersebut.

Hasil ukiran itu berupa aneka motif ukir khas Jepara, seperti motif daun pokok, angkup, cula, bunga, dan ulir, yang merupakan hasil perpaduan motif ukir Padjadjaran, Bali, Mataram, dan Majapahit. Hal itu tidak terlepas dari proses akulturasi ukir yang dimulai Ratu Shima, Kerajaan Kalingga, pada abad ke-7, Kerajaan Majapahit, dan Ratu Kalinyamat pada zaman Kasultanan Demak.

Selain itu, ada patung dan ukiran yang menggambarkan semangat perjuangan pada era kemerdekaan dan pemerintahan Presiden pertama Soekarno. Patung itu berupa patung atlas yang menonjolkan semangat persatuan Nusantara, ukiran Pancasila tempat bendera pusaka Merah Putih, dan pertempuran harimau dengan banteng bertuliskan Lambang Perdjoeangan.

”Patung atlas dan tempat bendera pusaka itu pernah dipesan Presiden Soekarno yang berkunjung ke Sekolah Teknik Pertama Jurusan Dekorasi Ukir pada 1955. Sekolah teknik itu merupakan pengembangan dari Openbare Ambachtsschool,” kata Kepala SMP Negeri 6 Jepara Darsono, beberapa waktu lalu.

Openbare Ambachtsschool didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Juli 1929 untuk menghargai jasa RA Kartini. Pada masa RA Kartini, para tukang kayu dan pengukir Jepara terangkat ke dunia internasional.

Melalui lembaga hubungan dagang Belanda dengan negara-negara kolonial, Oost en West, Kartini memamerkan dan memasarkan produk-produk Jepara, termasuk ukir-ukiran dan patung, di Belanda. Kartini bahkan berupaya melindungi produk-produk Jepara dengan mengkritik orang-orang yang meremehkan karya ukir Jepara.

”...saya sakit hati kalau barang-barang yang sangat indah itu menjadi milik orang-orang yang acuh tak acuh, yang tidak dapat atau sekurang-kurangnya tidak cukup menghargai barang-barang itu...” (Kartini, Pembaharu Peradaban, 2010).

Upaya Kartini mempromosikan dan memajukan seni ukir itu dimuat di Eigen Haard, majalah Belanda. Salah satu redaktur Eigen Haard dalam surat dukungan simpatiknya kepada Kartini menyatakan, ”…Kartini membawa kerajinan ukir Jepara pada era baru. Ukir bukan lagi sebagai hasil seni yang tidak mampu menghidupi para perajin, tetapi telah berkembang menjadi industri kerajinan yang menjanjikan harapan” (Mozaik Seni Ukir, 2013).

Atas dedikasi Kartini itulah, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Openbare Ambachtsschool. Masyarakat Jepara pada waktu itu menyebut sekolah itu sebagai sekolah pertukangan.

Pada awal berdiri, sekolah itu mempunyai 25 siswa. Mata pelajaran yang diajarkan adalah menggambar ornamen, membuat hiasan berukir, dan pertukangan. Di sekolah tersebut, siswa diajarkan motif-motif baru yang tidak didapatkan pengukir Jepara pada waktu itu.

”Kala sekolah itu belum ada, pengukir belajar mengukir dengan cara nyantrik, yaitu mereka belajar dari orangtua, kerabat, dan para pengukir yang sudah andal,” kata Hadi Priyanto, penggagas Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara.

Seiring perjalanan waktu, sekolah itu berkembang. Dari sekolah setaraf sekolah dasar menjadi setaraf SMP dan SMA, kemudian sekolah menengah kejuruan yang disebut sebagai Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) Negeri Jepara. Pada tahun 1990-an, SMIK berubah menjadi SMK Negeri 2 Jepara dan mulai menerapkan Kurikulum 1994.

Kurikulum itu mewajibkan siswa praktik kerja bidang mesin produksi sehingga keterampilan ukir kriya dan pertukangan kayu terlupakan. Hal itu tidak terlepas dari permintaan massal pasar mebel dari sejumlah negara. Ukir dan pertukangan kayu hanya diajarkan sebatas formalitas, baik di SMK Negeri 2 Jepara maupun di SMP Negeri 6 Jepara. ”Dalam seminggu, saya mendapatkan materi mengukir dan pertukangan hanya dua jam. Materi itu masuk dalam mata pelajaran keterampilan,” kata Nadila Ratih, siswi Kelas VII SMP Negeri 6 Jepara.

Regenerasi pengukir

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com