Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Benteng Vredeburg ke Kota Gede, Yogyakarta

Kompas.com - 17/06/2014, 16:40 WIB
SEJAK tinggal di Yogyakarta tahun 2006, hampir setiap hari Lila Imelda Sari (42) pergi ke Pasar Beringharjo di Jalan A Yani 16. Awalnya ia hanya suka dengan suasana pasar, tetapi lama-kelamaan keranjingan membeli kain kebaya dan kain batik bekas lawasan (bermotif lama).

”Sampai rumah, kebaya dan kain yang saya beli seharga Rp 20.000 sampai Rp 25.000, saya rapikan jahitannya dan saya perkaya dengan aksesori,” tutur Lila yang ditemui di Indische Koffie, di halaman dalam Benteng Vredeburg, di Jalan A Yani 6, Jumat (13/6/2014) siang. Di salah satu sudut warung kopi itu, Lila memajang barang-barang buatannya berupa pakaian dan aksesori perempuan.

Saat di Pasar Beringharjo, Lila suka mengamati perempuan pekerja kasar yang mondar-mandir di pasar menggendong barang antaran. Dari sanalah muncul ide mendesain Kebaya Mbok Jum. Produk itu lalu ditampilkan ke pasar maya melalui jejaring Facebook. Tak lama setelah itu, 50 lembar Kebaya Mbok Jum koleksinya habis terjual.

Pasar ternyata tidak berhenti. Pada 2012, pesanan Kebaya Mbok Jum terus mengalir. Konsumennya bukan hanya di Jawa, melainkan hingga ke luar Jawa. ”Saya jual Rp 185.000 untuk lengan pendek dan Rp 200.000 lengan panjang,” ujarnya.

Lila tidak memiliki latar belakang sebagai desainer. Meski demikian, ia tumbuh di tengah komunitas kreatif. Suaminya, Abu, adalah editor film dokumenter. Lila sendiri pernah bekerja di Miles Film, di Jakarta. Usaha ini milik Mira Lesmana.

Saat terjadi gempa di Yogyakarta tahun 2006, dua temannya mengajak membuat video partisipatori untuk anak dan remaja di Desa Piyungan, Bantul. ”Saya diminta menjadi mentor pembuatan video partisipatoris ke 10 sekolah non-unggulan di Yogyakarta,” ujar Lila.

Sejak itulah ia dan keluarga memutuskan tetap tinggal di Yogyakarta dan mundur dari Miles Film. ”Yang membuat kami kerasan tinggal di Yogyakarta adalah komunitas kreatifnya. Menjamur di mana-mana. Dengan mudah saya mendapat akses, terlibat diskusi dan saling berbagi dengan mereka,” papar sarjana hukum lulusan Universitas Atma Jaya Jakarta.

Tenaga terampil

Sebagai pemain baru di bidang fashion di dunia maya, penghasilan Lila baru sekitar Rp 10 juta per bulan. ”Pengembangan produk saya terhambat dengan minimnya tenaga penjahit yang terampil di Yogyakarta,” ucap anak pasangan Sugiono Prawiro Kusumo dan Henny Rosita Lubis ini.

Sejak karya fenomenalnya, Kebaya Mbok Jum, Lila memusatkan perhatian pada pengembangan produk kebaya dari bahan katun, sifon, dan tenun. ”Saya banyak menggunakan motif bunga, jumputan, atau lurik. Target pasar saya perempuan, SMA sampai usia 40 tahun,” ungkap ibu seorang anak ini.

Saat menyebut kata lurik, ia ingat temannya, Lulu Lutfi Labibi. ”Ingat Yogya, ingat (kain) lurik. Ingat lurik, ya, ingat Lulu,” kata Lila.

Sore itu, setelah menghabiskan minuman dan makanan ringan, kami pun meninggalkan Benteng Vredeburg menuju rumah Lulu.

Lulu tinggal di rumah limasan berundak di Trunojayan 858A, Kota Gede. Rumah tradisional Jawa itu tampak tertata cantik dengan pot-pot tanaman dan setelan mebel bergaya lama. Di ruang tengah digantung tertata pakaian karya Lulu.

Di depan rumah, berdiri pendopo tetangga yang sering menjadi tempat berkumpul para seniman Yogyakarta.

Setahun setelah memenangi lomba merancang mode Femina tahun 2012, nama Lulu cepat identik dengan lurik, corak pada surjan (kemeja tradisional) Yogyakarta. Harga produknya pun meroket setelah menjadi incaran kalangan selebritas, mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta.

”Pasar yang saya bidik adalah kaum urban berselera internasional, tetapi suka budaya lokal. Saya pun mengubah tradisi lurik yang tidak lagi sebatas pakaian pria, tetapi juga perempuan,” tutur Lulu. Pakaian yang ia buat, realistik, artinya, ”Berdaya pakai dan berdaya jual tinggi, tetapi unik,” kata pria lulusan Seni Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.

Komunitas

Baik Lila maupun Lulu termasuk orang yang alergi terhadap kata industri dan asosiasi. Mereka lebih menyukai kata komunitas. Hal yang sama disampaikan sejumlah pekerja kreatif, termasuk seniman dan budayawan, saat bertemu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu di ArtJog, Taman Budaya, Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

Mari pun maklum. ”Paradigmanya pun berbeda. Membangun industri kreatif itu membangun usaha individu dalam keramaian komunitas, bukan jorjoran modal membangun kerajaan bisnis. Inilah hebatnya industri kreatif. Selain menciptakan nilai tambah lebih banyak dengan modal terbatas, industri kreatif mudah diakses akar rumput,” tuturnya dalam satu diskusi di ArtJog. (WIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com