Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pariwisata agar Perhatikan Konservasi

Kompas.com - 02/07/2014, 16:07 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Wisatawan terus berkunjung dan naik ke puncak situs Gunung Padang. Jika tidak ada pembatasan serta pengaturan wisatawan, daya dukung lingkungan makin rendah dan situs rawan rusak.

”Gunung Padang menarik perhatian karena penafsiran yang berlebihan atau pseudoarchaeology. Misalnya, situs ini disebut lebih luas dari Borobudur atau lebih tua dari Piramida Mesir. Pasti pariwisata meningkat karena orang penasaran dan akan naik ke puncak situs. Itu sudah terjadi,” tutur arkeolog dan pemerhati cagar budaya dari Universitas Indonesia, Djulianto Susantio, Selasa (1/7/2014).

Oleh karena itu, harus ada pembatasan atau pengaturan pengunjung yang naik. ”Jangan lupakan pula upaya pelestarian dan konservasi,” ujar Djulianto.

Djulianto mencermati, penelitian Gunung Padang yang pertama lebih banyak penelitian geologi, bukan arkeologi. Waktu penelitian pun tidak lama dan kurang berwawasan pelestarian. Beda dengan penelitian arkeologi yang mengupas sedikit demi sedikit dan lama,” ujarnya.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS Penulis spesialis situs megalitik asal Inggris, Graham Hancock, dan ahli ilmu alam asal Amerika Serikat, Robert Scoch (tengah), berbincang dengan anggota Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kunjungan keduanya berlangsung saat acara Festival Gotrasawala.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto sepakat mengenai konservasi dan penataan situs. Apalagi, Gunung Padang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Itu berarti ada alokasi anggaran untuk penataan situs.

Ketua Arkeologi Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang Ali Akbar menuturkan, berdasarkan semangat arkeologi publik, peninggalan arkeologi harus bermanfaat bagi publik. Situs Gunung Padang dapat bermanfaat antara lain untuk penelitian, seni, pendidikan, rekreasi dan turisme, representasi simbolik, serta keuntungan ekonomi.

Ali Akbar menambahkan, dalam meneliti, tim juga menggunakan pendekatan manajemen peninggalan arkeologi. (IVV)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com