Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Metamorfosa Para Penakluk Kaca

Kompas.com - 04/08/2014, 10:31 WIB
RUMAH Budaya Tembi di Bantul, Yogyakarta, bisa menjadi pencatat perjalanan sejarah perkembangan seni lukis kaca. Keberadaan seniman perintis lukis kaca Cirebon, Yogyakarta, Solo, dan Bali yang tetap berpijak pada ranah pakem tradisi, tidak boleh tidak, harus hidup berdampingan dengan para penggedor dan pembaru seni lukis kaca yang senantiasa menggapai perjalanan dunia seni rupa Indonesia, bahkan dunia modern.

Empat perupa muda usia dari Yogyakarta, I Ketut Santosa, Rina Kurniyati, Nugroho, dan Hadi Koco, dalam pameran karya lukis kaca di Rumah Budaya Tembi, 11 Juli-11 Agustus 2014, menggelar karya-karyanya yang mereka sebut sebagai karya lukis kaca kontemporer. Mereka mengolah media kaca bukan hanya dengan pembaruan teknik, melainkan juga ide-ide yang melompat dari kaidah-kaidah tradisi.

Melihat karya keempatnya, pameran ini seperti menjadi titik awal keberadaan media ekspresi, khususnya lukis, entah itu kanvas entah itu kaca. pada gilirannya hanya akan menjadi alat, bukan esensi atau makna sebuah karya rupa. Keempat perupa itu memandang kaca selayaknya kanvas yang digarap secara bebas, baik teknik adonan warna yang menggunakan cat minyak maupun gagasan-gagasan orisinal dari individu perupanya. Artinya, garapan mereka lepas dari bayang-bayang karya lukis kaca yang berlangsung selama ini, yang umumnya dua dimensi.

Dan itu wajar, menurut Mikke Susanto kurator pameran itu, peristiwa ini bisa menjadi mata rantai sejarah perjalanan seni lukis kaca di Tanah Air. Seni lukis kaca memiliki perjalanan sejarah yang dinamis. Di Tanah Air sendiri, karya lukis kaca masuk ke Jawa dikenalkan oleh bangsa Tiongkok kepada masyarakat Cirebon, Jawa Barat. Di sana sinkretisme Tiongkok dan lokalitas Cirebon mewarnai gaya seni lukis kaca di kota udang itu. Serapan seni lukis kaca di Solo dan Yogyakarta menghasilkan karya-karya yang lebih bicara kerakyatan dan sosial. Bahkan lewat tokoh pewayangan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sering kali muncul lukis kaca yang berkonsep sindiran sosial. Demikian halnya seni lukis kaca di Bali, yang senantiasa berolah rasa lewat karya-karya yang selalu berkait dengan ketuhanan.

”Wajar jika keempat perupa yang pameran ini kemudian benar-benar membuat titik balik dari khazanah seni lukis kaca. Mereka memberlakukan kaca seperti sebuah kanvas. Dan itu menariknya, karena di dalamnya bukan hanya pergulatan ide, melainkan pergulatan teknik bagaimana bermain cat minyak dalam media kaca,” kata Mikke.

Tema sosial

I Ketut Santosa memajang karya-karya romantisisme, di balik sebagian besar karyanya yang bertema kritik sosial di lingkungannya, Bali, atau dalam skala lebih luas lagi. Sebagai keturunan empu pelukis kaca tradisional di Singaraja, Bali, bernama Jero Dalang Diah, Santosa memang mewarisi nilai-nilai seni lukis Bali yang sarat tradisi. Namun, dalam karyanya kali ini dia benar-benar ”ingkar” dari tradisi yang membesarkannya.

Seperti dalam karya yang berjudul ”Menumbuk Padi”, yang menggambarkan para perempuan sedang menumbuk padi dalam bentuk dekoratif. Perempuan-perempuan yang ditampilkan cenderung ke figur perempuan Jawa berkemban dan berjarik corak kawung dengan berbagai bentuk gelung rambutnya. Ornamen-ornamen yang melatarbelakangi bukan idiom-idiom Bali atau Jawa, melainkan idiom khas lukis kaca Cirebon, simbol mega-mendung dengan tata warna biru dan abu-abu.

Karya kritik Santosa adalah karyanya yang berjudul ”Mabuk Berat” yang tergores dalam stoples kaca. Gambar-gambar yang cenderung ke komik atau karikatur itu, digambarkan semuanya sedang mabuk, ibu-ibu, tentara, muda-mudi, dan wajah-wajah rakyat lainnya.

Secara tema maupun pendekatan teknis, antara I Ketut Santosa dan Hadi Koco yang dalam pameran karyanya lebih realistik, tampaknya secara total ingin menunjukkan bagaimana membangun teknik untuk menunjukkan karya realis ke dalam kaca dengan menggunakan cat minyak. Ini jelas terlihat dalam karyanya yang berjudul ”Jeruk, Mangga dan Jamü”. Detail goresan dan pewarnaan benar-benar mendekati obyek aslinya. Segerombol buah jeruk warna orange-nya begitu kuat mirip dengan warna aslinya. Bahkan kerutan-kerutan dalam buah jeruk tergambar jelas dalam karyanya.

Ini berbeda dengan Rina Kurniyati yang mengandalkan percampuran warna yang dikehendaki dalam adonan palet. Perempuan perupa ini tampaknya menyukai mobil-mobil antik, berbagai merek mobil kuno dia gambar dengan tata warna yang mendekati warna aslinya.

Nugroho lebih berani lagi menggunakan media kaca ini yang dianggapnya selayaknya media kanvas. Karya-karyanya lebih mengekspresikan apa yang dilihat di lingkungan sekitarnya dan dia kerjakan selayaknya melukis di dalam kanvas. Warna-warna ditumpuk sehingga menemukan efek goresan yang dikehendaki. Tak mudah dikenali karyanya yang berjudul ”Cucu dan Nenek” adalah karya lukis kaca karena benar-benar digarap dalam imagi di atas kanvas.

Kenyataan ini memang diakui oleh Mikke, keempat perupa itu dalam mengolah karyanya memang menggunakan pendekatan melukis di atas kanvas. Berangkat dari eksperimen itu, Mikke menyatakan, kreativitas empat perupa ini memberi pesan untuk Indonesia bahwa ekonomi kreatif memasuki persaingan yang amat kuat. Siapa yang kreatif dialah yang menang. (Thomas Pudjo Widijanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com