Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Secarik Kisah Pembela Tanah Air

Kompas.com - 21/08/2014, 17:32 WIB
DJAM 6.30 seketika didengar selompret-bangoen. Mereka bangoen melontjat dengan serentak. Sambil mandi dengan air dingin, tiap-tiap mereka berdjandji didalam hatinja masing-masing: ... Hari inipoen akoe berdjoeang koeat. Setelah bersembahjang soeboeh di soerao, laloe mereka bersantap. Sembahjang 5 kali sehari tetap dilakoekan oleh mereka. Djam 8.00 berbaris oentoek Tenko (apel). Menghormati djaoeh kearah Istana Tokyo dalam soesana chidmat membangkitkan semangat perdjoeangan oentoek menghantjoer-leboerkan moesoeh.”

Itulah sepenggal cerita berjudul ”Moelai Pagi Sampai Malam” pada poster reproduksi halaman majalah Djawa Baroe 1944, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, kenangan dari Indroyono S/Sesmenko Kesra, dan reproduksi dari koleksi Museum Pembela Tanah Air Bogor.

Itu satu dari 20 poster reproduksi yang menceritakan perjalanan laskar PETA yang dipamerkan di Terowongan Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor, Jumat (15/8/2014). Selain poster reproduksi majalah, ada dua lukisan yang mengisahkan suasana perang kemerdekaan di Bogor. Ada juga poster reproduksi lukisan suasana pembentukan Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.

Poster itu bercerita tentang para prajurit PETA tengah memperbaiki tank tempur, suasana hari besar PETA, upacara PETA yang dipimpin oleh Saiko Shikikan (perwira tinggi Jepang), kedatangan Presiden Soekarno di Bogor, serta defile dan parade prajurit PETA.

Markas PETA kini menjadi Museum PETA dan Pusat Pendidikan Zeni AD di Jalan Jenderal Soedirman, Kota Bogor, dengan ujung selatan adalah gerbang Istana Bogor dan ujung utara adalah Simpang Air Mancur (dulu tugu triangulasi topografi).

Kalimat-kalimat dalam poster itu masih ejaan lama. Misalnya, ”Madjoelah tentera Pembela Tanah Air kita. Sifat prawira pada para pemimpin tentara Pembela Tanah Air jang soedah bangkit dengan memikoel kewadjiban berat: membela Tanah Air”.

Dari dua kalimat itu ditemukan kemungkinan salah tik atau penyempurnaan. Ada kata ’tentera’ dan ’tentara’. Selain itu, ditemukan kata ’Perdjoerit PETA’ yang maksudnya tentu prajurit.

Membaca tulisan Djawa Baroe yang direproduksi ke poster itu menjadi keasyikan tersendiri bagi pejalan yang kebetulan melintas terowongan yang menghubungkan trotoar depan Kampus Baranangsiang Institut Pertanian Bogor dan trotoar depan Gerbang Timur Kebun Raya Bogor (KRB). Yang penasaran berhenti untuk membaca kisah-kisah PETA. Hati pembaca sedang digugah bahwa Kota Bogor punya peran cukup penting dalam perjuangan kemerdekaan.

Poster-poster itu dipamerkan untuk memeriahkan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pameran berlangsung sebulan. Pameran juga bertujuan kampanye kepada masyarakat agar menyeberang lewat prasarana resmi terowongan, jembatan, dan pelintasan (zebra cross). Sebelum pameran poster, terowongan itu dipenuhi deretan lukisan karya budayawan Bogor. Tujuannya, menjadikan prasarana penyeberangan menjadi galeri dan ruang publik yang nyaman dan aman.

Lorong itu memang belum seindah, semegah, dan semewah stasiun metro Komsomolskaya di Moskwa yang didirikan pada 1935, berukir, berpanel, dan berlukisan kisah kemerdekaan rakyat Rusia dari sistem monarki.

Di pintu masuk terowongan diletakkan dua tong sampah berbahan plastik. Yang hijau untuk sampah organik, yang jingga untuk sampah anorganik.

Gerbang terowongan dibuka pukul 07.00 dan ditutup pukul 22.00. Sekeliling terowongan diletakkan pot bunga. Dinding yang saat bulan puasa berkali-kali dicorat-coret itu telah dibersihkan dan ditutupi dengan taman vertikal. Menjelang 17 Agustus 2014, dinding terowongan juga dihias dengan bendera Merah-Putih.

Terowongan didirikan pada 2011 dengan dana Rp 3 miliar oleh pemerintah pusat. Terowongan dibuat untuk penyeberangan, terutama pengunjung KRB dengan asumsi bus dan kendaraan pengunjung parkir di areal Botani Square. Dari pusat belanja ini, orang bisa berjalan lewat terowongan dan masuk ke KRB dari gerbang timur.

Namun, dalam perjalanannya, terowongan ini tidak berfungsi maksimal. Prasarana tidak dijaga dan tidak dirawat. Akibatnya, terowongan sering menjadi tempat orang buang hajat, bahkan tempat kejahatan. Prasarana ini sering bau pesing, kumuh, jorok, dan ditemukan banyak kondom bekas. Kamera pemantau yang terpasang pun telah rusak. Terowongan akhirnya pernah ditutup.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto yang dilantik pada 7 April 2014 ditantang warga untuk mengembalikan fungsi terowongan itu. Tantangan dijawab dengan perbaikan. Pelat seng diganti dan dilas, pelbagai coretan ditimpa dengan cat, listrik dinyalakan, lorong dipercantik dan dipasangi lukisan, serta pemasangan kamera pemantau.

Terowongan dikelola bersama oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DKP), serta Satuan Polisi Pamong Praja. DKP bertugas merawat terowongan, tanaman, tempat sampah, dan trotoar di sekitar prasarana. Disbudpar bertugas mengelola galeri dan mengupayakan atraksi seni budaya secara rutin, terutama pada akhir pekan dan hari libur. Satpol PP bertugas menjaga terowongan untuk mencegah prasarana ini kembali menjadi tidak keruan seperti sebelumnya. (Ambrosius Harto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com