Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mentari Pagi Bromo, Pesona Tengger

Kompas.com - 07/09/2014, 13:45 WIB
WAKTU baru menunjukkan pukul 03.00 ketika deru kendaraan berpenggerak empat roda (four wheel drive) terdengar menyusuri lautan pasir Gunung Bromo di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (11/8/2014). Suhu udara yang dingin tak menghentikan putaran roda kekar tersebut menembus pekatnya kabut.

Karena telah mengenal medan sekitarnya, pengemudi mobil itu dengan percaya diri membawa wisatawan mengarah ke Penanjakan I di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Penanjakan I merupakan titik pertama untuk menikmati kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Dari titik berketinggian 2.770 meter di atas permukaan laut ini, wisatawan akan mengintip matahari terbit.

Kemacetan beberapa kali terjadi saat puluhan mobil bergantian merayap di jalur terjal menanjak. Wisatawan yang ingin melihat matahari di ufuk timur yang memesona sebenarnya memiliki dua pilihan lokasi. Selain dari Penanjakan I, mereka juga bisa melihat dari Penanjakan II yang berada di Kecamatan Sukapura.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya sampai pula mereka di Tosari. Sembari menunggu matahari terbangun, wisatawan bisa menghangatkan badan dengan menikmati makanan dan minuman panas yang dijajakan oleh warga. Wisatawan yang masih kedinginan bisa mengenakan selimut yang banyak disewakan.

Perjalanan berat pagi itu rupanya belum berbuah keberuntungan. Awan tebal menjadi penghalang. Matahari yang biasanya terbit pukul 05.00-05.30 belum juga terlihat. Sekitar pukul 06.00, matahari baru menyembul dari awan dengan garis merah kekuningan di batas cakrawala. Wisatawan pun bersorak. Mereka mengabadikan momen itu dengan beragam kamera. Sebagian lainnya memilih berfoto diri (selfie).

Ikatan batin

Bromo dan mentari paginya itu adalah momentum yang menjadi alasan banyak wisatawan merasa punya ikatan batin dengan gunung yang diyakini oleh masyarakat Tengger sebagai tempat bersemayam Dewa Brahma itu. Mereka pun ingin datang dan datang lagi.

”Tiga bulan lalu saya ke sini. Kini, saya datang lagi dengan mengajak teman-teman. Sekalian melihat upacara adat Tengger, Yadnya Kasada,” ujar Jujun Junarya yang berasal dari Banten. Sebagai fotografer yang mengkhususkan diri pada lanskap dan budaya, Jujun menilai Bromo dan subetnis Tenggernya memberi banyak titik menarik sebagai obyek foto.

Kompas/Iwan Setiyawan Sejumlah warga berebut menangkap sesaji yang dilemparkan suku Tenggger ke kawah Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, pada puncak perayaan Yadnya Kasada, Minggu (6/9/2009). Yadnya Kasada merupakan ritual warga suku Tengger dengan melarung hasil bumi atau ternak ke kawah Bromo sebagai wujud penghormatan terhadap nenek moyang mereka.
Ia teringat, tahun 2000 saat mengadakan pameran lanskap di Japan Foundation, Jakarta, sebuah foto Bromo pada malam hari saat Kasada dibeli oleh seorang warga negara India. Hal itu membuktikan bahwa keindahan Bromo diakui dan diketahui hingga ke mancanegara.

Ketagihan dengan Bromo juga dialami Rizki Dwi Putra, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur. Ia sudah tiga kali datang ke Bromo, khusus untuk mengambil momen Yadnya Kasada. ”Kalau datang ke Bromo bersamaan upacara Kasada, kita mendapatkan menu lengkap, mulai dari pemandangan alam hingga ritual budaya,” ucapnya.

Hari itu Bromo menarik perhatian banyak orang. Bukan saja pemburu foto, warga dari bermacam keyakinan juga banyak yang datang untuk menyaksikan hari raya masyarakat Tengger, Yadnya Kasada. Kusaini (55), seorang warga Pusungmalang, Kecamatan Puspo, Pasuruan, sengaja datang ke Bromo setelah 13 tahun absen melihat Kasada.

”Saya terakhir ke sini tahun 2001. Setelah itu tidak pernah datang lagi. Kali ini, saya sengaja ikut anak-anak yang ingin menyaksikan larung sesaji di Bromo,” ujarnya. Menurut Kusaini, selama belasan tahun ini banyak yang berubah. Bromo dan penyelenggaraan Kasada lebih rapi dibandingkan dengan dulu. Untuk naik ke puncak dan menyaksikan kaldera Bromo, pengunjung terbantu oleh tangga semen dengan anak tangga sebanyak 240 buah.

Bagi warga Tengger, Yadnya Kasada menjadi bagian spiritual yang tidak bisa diabaikan. Mereka tak hanya datang melarung sesaji, tetapi juga tinggal dan bermalam merayakan hari raya itu secara meriah. Percik dan ledakan kembang api di udara pun berbaur dengan suara musik yang mengalun kencang dari pengeras suara.

Edi Darmono (24), penduduk Wonokerto, Kecamatan Sumber, Probolinggo, datang bersama 14 saudaranya. Mengendarai dua mobil bak terbuka, ia membawa beberapa pengeras suara (sound system) berkapasitas 30 ampere dan 20 ampere ditambah amplifier. Untuk menghidupkan perangkat itu, ia membawa sebuah generator set. Musik disko pun berdentum keras dari tempatnya berada, persis di luar tembok poten (pura) yang berada di tengah lautan pasir.

Guna menghalau dinginnya udara yang berada di bawah 10 derajat celsius, Edi membentangkan terpal yang kedua sisinya diikatkan kepada kendaraan yang dia bawa. Di bawah terpal itulah mereka memasak, makan, dan tidur selama pelaksanaan Yadnya Kasada. ”Empat tahun terakhir saya selalu membawa sound system. Kebetulan semua perangkat itu milik sendiri. Bagi kami, Kasada adalah hari raya sehingga patut dirayakan,” kata Edi.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Warga suku Tengger membawa sesaji untuk dilarung ke kawah Gunung Bromo pada puncak upacara adat Kasada, di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (12/8/2014). Kegiatan yang berlangsung setahun sekali ini harus dilaksanakan meski bau belerang dari kawah gunung menyengat.
Tak pernah sepi

Bromo dan kawasan sekitarnya tak pernah sepi, selalu menarik pengunjung. Balai Besar TNBTS memperkirakan tak kurang dari 15.000 orang datang pada Yadnya Kasada tahun ini, sebagian di antaranya warga Tengger. Menurut Kepala Balai Besar TNBTS Ayu Dewi Utari, pengunjung kali ini sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun lalu. Penyebabnya adalah dana untuk berlibur terserap untuk Lebaran dan pemilu.

”Selain kondisi alam yang menawan, TNBTS memiliki ritual budaya yang menarik, yakni Kasada, yang diwarnai dengan upacara melarung hasil alam ke kawah gunung saat dini hari. Prosesi seperti ini tidak ada di tempat lain,” ujarnya.

Dengan luas sekitar 50.276,2 hektar, TNBTS memiliki banyak hal. Selain bentang alam, taman nasional ini juga memiliki ekosistem yang spesifik, mulai dari lautan pasir, savana, hingga hutan hujan dengan keanekaragaman hayati nan melimpah. (Bahana Patria Gupta/Defri Werdiono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com