Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Bima Berkolaborasi dengan Naga

Kompas.com - 24/09/2014, 14:35 WIB
APA jadinya jika wayang air Vietnam berpadu dengan wayang kulit Indonesia, yang lantas berkolaborasi lagi dengan wayang kulit Kamboja? Jadinya, tokoh Bima bisa bergumul dengan naga air, lantas tenggelam ke dasar samudra, dan menemukan jati dirinya. Jadinya, Kumbokarno bisa bersahabat dengan Lenthoang, satu karakter dalam kisah rakyat Kamboja.

Dalam kolaborasi lain, Bima mengobrol dengan tokoh putri dari wayang golek Singapura. Lantas muncul lagi Kumbokarno. Dari belakang, narator berkata, ”Jangan gegabah. Pendusta dan penggoda merangkulmu, membujukmu dengan sapaan manis untaian kata mesra. Waspadalah.” Muncullah Punakawan bersama dengan Lenthoang yang menunggang kuda, menyerukan pesan untuk bersatu, rukun, dan padu.

Pertunjukan yang unik dan bisa jadi tidak masuk akal. Bahasa gaulnya, nggak nyambung. Namun, begitulah sajian wayang kolaborasi negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) plus Tiongkok, di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Rabu (17/9/2014) malam. Sehari sebelumnya, wayang Indonesia juga menjadi jembatan untuk menghubungkan kisah dari Thailand, Filipina, Tiongkok, dan Myanmar.

Sebagai sebentuk garapan yang utuh, pertunjukan wayang kolaborasi itu menarik. Hal itu terutama ketika dengan cantiknya tim karawitan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta mampu melebur ke dalam cerita lewat iringan gamelannya yang magis. Beberapa orang mengimbuhi dengan gerakan teatrikal.

Pertunjukan itu digelar dalam acara ”Kolaborasi Seni Pertunjukan Wayang Tradisional ASEAN-Tiongkok 2014”. Acara ini diharapkan bisa menjadi satu langkah untuk menghidupkan dan menghidupi wayang sebagai satu tradisi budaya dengan sejarah panjang yang dimiliki oleh semua negara di Asia Tenggara. Harapan lain, tentu ini sebentuk diplomasi budaya melalui wayang.

Kolaborasi wayang ini memang masih eksperimen, belum menjadi kolaborasi utuh dengan gagasan dan cerita baru yang dikemas dalam satu pertunjukan. Seperti dikatakan delegasi dari Thailand, Nimit Pipithkul, butuh waktu dan energi yang besar untuk menyuguhkan wayang kolaborasi secara utuh. ”Di sini, kolaborasinya paling-paling dua menit saja, masih bereksperimen,” katanya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Delegasi seniman dari Singapura berlatih sebelum pentas dalam Kolaborasi Seni Pertunjukan Wayang Tradisional ASEAN-Tiongkok 2014, di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Rabu (17/9/2014). Selain mementaskan wayang dari negara masing-masing, mereka juga berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai perkembangan kesenian wayang.
Benar juga kata Nimit. Setiap negara memiliki bentuk dan kisah wayangnya sendiri. Indonesia bisa dibilang paling kaya dalam hal wayang. Ada Wayang Kulit Purwa yang mengambil kisah Ramayana dan Mahabarata, Wayang Madya (paduan Wayang Purwa dan Gedhog), Wayang Beber, Wayang Gedhog, Wayang Wasana, dan Wayang Kontemporer.

Seperti dikatakan pengajar ISI Surakarta, Suyanto, wayang di Indonesia berakar dari Jawa yang mengandung pesan dan nilai-nilai filosofis, seperti perilaku hidup, moralitas kepemimpinan, pendidikan, dan agama. Wayang golek di Tiongkok juga memiliki sejarah panjang dan bahkan memengaruhi wayang di Indonesia (Wayang Potehi) serta Singapura.

Menggagas kemungkinan

Wayang kontemporer, mengapa tidak? Dalang wayang kulit kondang Ki Manteb Sudarsono pun berpikiran maju soal pencarian bentuk baru cerita wayang. Maka, ketika muncul Wayang Kampung Sebelah, Wayang Wahyu, Wayang Suket, Wayang Padi, Manteb mendukung itu. Bahkan, cerita yang dianggap baku pun bisa dikembangkan.

Bagi seniman wayang Singapura, Chua Ming Ren Shawn, melestarikan kesenian tradisional itu adalah juga bagaimana kita melihat kemungkinan-kemungkinan untuk pengembangannya.

”Tidak perlu berputar-putar dan berdebat mengenai keharusan mempertahankan tradisi dan identitas yang dulu. Atau haruskah kita mencari identitas baru. Pengembangan itu strategi untuk membuat generasi muda mau mempelajari wayang dan bergerak maju,” ungkapnya.

Mengutip pernyataan seniman wayang Ong Keng Sen (1993), Chua Ming Ren Shawn pun menyepakati munculnya wayang kontemporer. Kita tidak seharusnya mengompromikan wayang atau seni tradisional, tetapi tidak pula berpegang teguh pada kesuciannya.

”Cerita tradisional sulit dimengerti anak muda karena itu bukan kehidupannya. Marilah mencari kemungkinan-kemungkinan itu,” katanya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Peserta dari Myanmar mementaskan wayang dalam acara ASEAN-China Collaboration on Traditional Performing Arts of Puppet Performance, di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Jawa Tengah, Selasa (16/9/2014). Acara yang diikuti sembilan negara itu digelar sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional wayang di negara-negara Asia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pewayangan ASEAN Suparmin Sunjoyo dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan sepakat untuk meneruskan kolaborasi budaya di antara negara-negara ASEAN. Tidak hanya kolaborasi pertunjukan, tetapi juga gagasan.

”Saya rasa ke depan bisa muncul satu bentuk atau gagasan baru wayang ASEAN. Sama juga yang kita lakukan dalam bidang lain, misalnya arsitektur. Itu akan menambah kekayaan budaya kita juga,” papar Kacung.

Ya, selalu ada ruang untuk munculnya gagasan baru. Asalkan tidak dipaksakan. Jangan sampai kolaborasi budaya lantas justru melenyapkan budaya asli. ”Tentu, tradisi yang kita punyai tetap harus kita jaga,” ujar Suparmin. (SUSI IVVATY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com