Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TMII Bertahan Melestarikan Tradisi

Kompas.com - 16/10/2014, 17:45 WIB
DIBANGUN pada 1972 dan diresmikan tiga tahun kemudian, Taman Mini Indonesia Indah menjadi proyek besar untuk ”membekukan” kebudayaan bangsa ini dalam etalase ruang. Dengan jargon mengunjungi Indonesia dalam satu hari, TMII diharapkan menjadi pintu masuk bagi siapa saja yang ingin belajar banyak tentang Indonesia.

Terlepas dari sekian banyak pendapat miring tentang TMII, wahana budaya ini sanggup bertahan sebagai tempat mempertontonkan produk-produk budaya yang diminati masyarakat.

Rumah gadang bagonjong itu hampir setiap pekan tidak pernah sepi acara. Selalu saja ada pertunjukan, entah itu tari, nyanyi, upacara adat, atau sekadar membaca puisi melayu.

Setiap kali ada acara besar, di tepi jalan depan anjungan Sumatera Barat (Sumbar) itu juga ramai oleh pedagang dadakan. Mereka menggelar dagangan di tenda-tenda yang disediakan panitia. Ada yang menjual pakaian dan aneka aksesori bergaya Minang. Ada pula yang menjual kuliner khas Minang, seperti kue sapik, lamang limo kaum, lamang tapai, sate padang, dan bareh randang.

Lalu lalang pengunjung dari rumah gadang untuk jajan dan berbelanja tak urung membuat kemacetan. Kemacetan bisa berbuntut panjang hingga ke dekat pintu masuk areal TMII. ”Inilah Indonesia mini, lengkap dengan budaya juga kemacetannya. Macet itu wujud tata kelola yang kurang baik,” kata Kusumastuti, pengunjung yang kerap membawa tamu ke TMII.

Anjungan

Rumah tradisional merupakan wahana unggulan TMII. Disebut wahana karena di situ tumplek-blek berbagai macam aktivitas seni budaya seperti disebut di atas. Tujuannya adalah mengenalkan ragam budaya dari provinsi yang diwakili oleh rumah tradisional tersebut. Di TMII terdapat 33 anjungan yang mewakili 33 provinsi di seluruh Indonesia.

Di atas lahan seluas hampir 2 hektar, anjungan Sumbar tidak hanya membangun rumah gadang dari adat suku Minang, suku terbesar di Sumbar. Di situ juga terdapat rumah Nias yang selama ini menjadi obyek paling diminati para peneliti Jepang. Ketika terjadi gempa, rumah Nias terbukti mampu bertahan dari gempa skala besar. Struktur rumah Nias ini sekarang tengah diteliti Jepang untuk pengembangan rumah tahan gempa di negara itu.

”Mereka yang berminat mempelajari rumah tradisional di sini rata-rata memang orang asing,” ungkap Nana, pemandu wisata yang sudah puluhan tahun bertugas di anjungan Sumbar. Kalau orang asing datang, kata Nana, mereka akan banyak bertanya tentang teknis struktur rumah, seperti jumlah tiang, pasak penyambung struktur, dan pemasangan fondasi.

Lain lagi dengan pengunjung lokal. ”Mereka masuk rumah gadang biasanya hanya melihat-lihat sebentar lalu berfoto-foto. Remaja biasanya pilih foto-foto bersama pacar. Tidak ada yang tertarik bertanya detail soal rumah adat,” kata Nana.

Hal sama terjadi di anjungan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Anjungan ini menampilkan rumah adat Toraja sebagai ikon utama. Rumah dengan atap menjulang tinggi seperti tanduk kerbau ini dikenal sebagai rumah tongkonan. Rumah ini juga menjadi obyek studi para peneliti asing yang tertarik soal antropologi dan arsitektur tahan gempa.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Rumah Gadang di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Di dalam rumah tongkonan terdapat beberapa benda etnografis milik suku Toraja. Jika diminta, ada pemandu wisata yang siap menjelaskan fungsi-fungsi setiap ruangan dan makna filosofis rumah tongkonan bagi etnis Toraja.

Sayangnya, tidak seperti anjungan Sumbar yang selalu ramai kegiatan, di anjungan Sulsel tidak terlalu meriah dengan kegiatan seni budaya. Menurut salah satu pemandu di anjungan tersebut, pemerintah daerah tidak terlalu banyak mengadakan kegiatan di anjungan. Dalam sebulan hanya ada 1-2 kali kegiatan seni budaya di sana. Selebihnya sepi.

TMII memiliki koleksi 150 rumah adat yang di daerahnya sendiri sebagian sudah tidak lagi ada. Rumah adat Sunda, misalnya, bisa ditemukan di anjungan Jawa Barat meski menurut Sri Rahayu, peneliti rumah Sunda dari Fakultas Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), rumah Sunda tersebut sedikit ”mengada-ada”.

Menurut Sri, hingga sekarang belum ada peninggalan sejarah atau referensi yang menunjukkan bukti adanya sebuah kota dengan bangunan budaya Sunda. Ketika TMII akan membangun rumah Sunda di anjungan tersebut, banyak pihak yang terlihat bingung mewujudkannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com