Musee du Louvre, istana berusia ratusan tahun, dibangun pada abad ke-12 semasa Perancis diperintah oleh raja Philip II. Terakhir tahun 1682, Raja Louis XIV memilih tinggal di Istana Versailles. Sejak itulah Louvre benar-benar dijadikan museum untuk menyimpan sekitar 35.000 benda seni yang berasal dari masa prasejarah sampai abad ke-19.
Mona Lisa memiliki beranda yang istimewa. Lantai dua di sayap Denon, di mana ia duduk, dibatasi tali pengaman dan dijaga beberapa petugas keamanan. Jangan coba-coba mendekat, hanya pada jarak 3 meter kita bisa menyapanya dengan lensa kamera. Kalau beruntung, boleh coba-coba selfie, tetapi ini akan membutuhkan perjuangan berat. Ratusan tamu dari berbagai bangsa yang merangsek masuk setiap saat siap menggusur Anda.
Hilangnya Mona Lisa dari Louvre sempat membuat hubungan Perancis dan Italia memanas. Tetapi, karya ini kemudian dikembalikan tahun 1913 dan diletakkan di sayap Denon, di mana karya-karya para pelukis Italia dan Spanyol yang lain.
Senyum Mona Lisa yang misterius membuat cerita makin ke mana-mana. Siapa perempuan yang dijadikan model Leonardo da Vinci? Entahlah. Menurut dugaan Giorgio Vasari, sejarawan renaisans Italia, Mona Lisa mungkin lukisan potret Lisa Gherardini, istri Francesco del Giocondo, seorang pedagang sutra di Florence.
Baiklah. Saya pamit kepada Mona Lisa dalam keadaan sedikit lelah akibat terjepit oleh ratusan tamunya. Padahal di seberang beranda di mana Mona Lisa duduk terpajang lukisan Leonardo da Vinci yang tak kalah terkenalnya, ”The Last Supper”. Saking besarnya, lukisan ini seakan menyedot saya untuk menjadi bagian dari peristiwa di dalamnya. Tetapi seorang teman seperjalanan, Dewi Puspa Sari, yang jadi bagian dari rombongan Go Ahead Challenge Sampoerna A, buru-buru mengingatkan.
”Kita harus berkunjung ke bilik lain," kata Dewi, di akhir September 2014. Terbayang pegalnya kaki menyusuri bilik-bilik Louvre yang luasnya tak kurang dari 60.600 meter persegi!
Bukit para pelukis
Keesokan harinya kami menemukan musim gugur yang ramah. Matahari yang hangat membuat warga Paris menghabiskan waktu di kafe-kafe terbuka. Montmartre adalah pilihan tepat untuk menyusur jejak seni di sini. Selain Basilica Sacre Coeur, yang tampak anggun dan memutih dari kejauhan, di bukit setinggi 130 meter dari permukaan laut itu, para seniman besar dunia berumah. Di sini dulu, para pelukis, seperti Pablo Picasso, Salvador Dali, Modigliani, Claude Monet, dan Vincent van Gogh, menghabiskan hari-hari mereka. Bahkan kita bisa menjenguk Dali di rumahnya, di mana puluhan lukisan masih tersisa.
”Wajah Anda punya karakter kuat untuk dilukis,” tambahnya. Ah, dia mulai dengan penawaran pertamanya. Lalu, ia benar-benar siap memulainya, ”Saya biasanya membuat sketsa dengan harga 80 euro, tetapi sebagai tanda persahabatan, untuk Anda cukup 30 euro,” kata Gerrard sambil memperlihatkan tabel harga.
Di jalanan kecil di depan sebuah toko suvenir, seorang pelukis muda lainnya asyik menggambar wajah seorang gadis. Kami sepakat pada angka 20 euro dengan bonus mengobrol. Kesepakatan yang adil, bukan?
Sudah pasti sejak abad pertengahan ketika Da Vinci melahirkan Mona Lisa, Picasso mempertajam kubisme, dan Dali mematangkan surealisme, sampai Gerrard, yang menjadi pelukis jalanan, seni di sini jadi pertimbangan utama. Ekspresi seni telah menggerakkan pemikiran untuk kemudian melahirkan peradaban, sebagaimana yang kini tercatat dalam sejarah Eropa. Itulah soalnya mengapa Mona Lisa masih tersenyum kepada semua tamunya walau telah melintasi waktu berabad-abad. Ia abadi dalam perubahan zaman…. (Putu Fajar Arcana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.