Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencumbui Sang Janda dari Hindia

Kompas.com - 26/10/2014, 08:41 WIB
TIBA di negeri kincir angin, saya mendengar orang berseloroh, “Kalau seorang magistrat adalah duta Tuhan di dunia, maka negara yang menjadi duta Tuhan di dunia adalah Belanda.” Bisa jadi apa yang ia katakan benar, mengingat salah satu kotanya, Den Haag, identik dengan kota asal-usul hukum internasional. Bahkan, kitab hukum di Indonesia mengadopsi hukum buatan Belanda.

Tersebutlah Hugo de Groot, ahli hukum Belanda pada akhir abad ke-16. Bersama koleganya, ia membuat fondasi hukum semesta. Sejalan itu, Belanda menjadi ikon penggagas tatanan ketertiban dan keadilan hukum bagi dunia.

Berjalan kaki menyusuri urat jantung Den Haag ibarat meniti untaian kisah sejarah yang tak akan ditemui di buku pelajaran sekolah. “Jelang dan pasca kemerdekaan Indonesia,” ujar Olivier Johannes Raap, warga Belanda yang menggandrungi eksotika Jawa, “kota ini disebut juga sebagai ‘Weduwe van Indië’ atau Janda dari Hindia Belanda. Saat itu banyak pendatang dari Indonesia pindah ke Den Haag karena menghindari masalah perang atau politik.”

Jika Amsterdam adalah kota yang dijejali turis penjuru dunia, kita akan menemukan nuansa kehidupan formal orang Belanda di Den Haag. Di kawasan ini, raja dan perdana menteri berkantor. Kotapraja ini berhias gedunggedung elok abad ke-14 dan sejumlah monumen. Sembari menikmati pesona kota dengan jalan kaki, tetap perhatikan langkah Anda karena di sini sepedalah yang menjadi raja.

Vredespaleis

Inilah Istana Perdamaian, kantor International Court and Justice atau Mahkamah Internasional. Tampaknya kita—sebagai orang Indonesia—harus menerima kenangan kecut ketika memandanginya. Di sini, perseteruan Indonesia dan negeri tetangga Malaysia soal Ligitan dan Sipadan berakhir dengan hilangnya kedua pulau itu dari peta Indonesia. Pada 28 Agustus-21 September 2013 digelar perayaan satu abad usia istana ini, sekaligus memperingati hari perdamaian sedunia. Perayaan digelar di lingkungan Istana Perdamaian, relung Kota Den Haag, dan juga di seluruh dunia.

(Mahandis Y. Thamrin/NGI) Paleis Noordeinde, kantor Sang Raja. Istana, yang berada di Den Haag, merupakan salah satu dari tiga istana resmi keluarga Kerajaan Belanda. Raja Willem-Alexander bertakhta di bangunan ini sejak 2013.
Paleis Noordeinde

Jika bendera warna oranye dikibarkan, berarti Sang Raja Willem-Alexander tengah bekerja di dalamnya. Sejatinya, istana ini merupakan hadiah dari kerajaan kepada janda William van Oranje pada abad ke-17. Di depan pintu gerbangnya, terdapat patung perunggu pria berkuda—suami sang janda—menuju ke arah istana itu. Di belakang istana terdapat taman publik, juga kandang kuda dan gudang kereta dengan sebutan Koninklijke Stallen.

Willemspark

Kalau Jakarta punya Monumen Nasional, Den Haag punya monumen yang bertema sama. Bentang taman oval yang berlokasi di persimpangan Sophialaan dan Alexanderstraat ditandai oleh Monumen Plein 1813. Monumen nasional warga Belanda itu dibangun pada 1863 untuk memperingati berakhirnya pendudukan Napoleon Bonaparte, sekaligus kembalinya William I dari pengasingan. Bagi warga, inilah pengingat kemerdekaan mereka.

Panorama Mesdag

Museum istimewa di Zeestraat yang memamerkan karya lukisan panorama 360 derajat mahakarya Hendrik Willem Mesdag. Lukisannya menampilkan bentang alam desa pesisir Scheveningen akhir abad ke-19, lengkap dengan tambahan gumuk pasir dan pernik sungguhan yang membuatnya kian nyata. Jika kita melancong ke pantai Scheveningen, saat ini masih tersisa beberapa bangunan yang pernah dilukis Mesdag itu. Menakjubkan!

Grote of Sint-Jacobskerk

Gereja tertua di kota ini berlokasi di Torrenstraat, mengacu pada menara lonceng yang dibangun pada abad ke-15. Setiap hari, lonceng rentanya setia berdentang. Nisan-nisan kuno dari kalangan terhormat masih terhampar di lantai dalam gereja. VOC membawa budaya permakaman di lantai gereja sampai ke Batavia dan Banda.

(Mahandis Y. Thamrin/NGI) Pintu masuk Binnenhoff, tempat Perdana Menteri Belanda berkantor. John Verbeek dari Dapartemen Transportasi berkata,
Binnenhoff

Sebuah kompleks gedung di bilangan Hofweg yang digunakan sebagai kantor parlemen Belanda sejak abad ke-15. Ridderzaal, sebuah bangunan bermenara ganda di tengah kompleks Binnenhoff, boleh dikata, berdiri sejak zaman Majapahit. Pada 1949 digelar perundingan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia-Belanda. Hasilnya, Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada bekas koloninya, Republik Indonesia—konon, itu pun kita harus memberikan imbalan miliaran gulden kepada Belanda.

Saya merinding kala menjejakkan kaki di hamparan karpet dalam Ridderzaal. Saya pun teringat Wieteke van Dort, seorang biduan Belanda kelahiran Surabaya, yang melantunkan lagu Arm Den Haag. Sebuah lagu pilu yang berkisah tatkala warga Belanda harus angkat kaki dari Indonesia.

"Ach kassian, het is voorbij. Kassian, het is voorbij. Den Haag, Den Haag, de weduwe van Indië ben jij."—Oh kasihan, itu sudah berakhir. Kasihan, itu sudah berakhir. Den Haag, Den Haag, Janda dari Hindia itulah kamu. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com