Jalur lintas selatan Jawa Barat (LSJB) ini termasuk salah satu jalur klasik di kalangan pengelana bersepeda. Sejumlah pengelana mancanegara yang hendak beranjak ke arah timur memilih jalur ini meski kontur jalannya relatif lebih berat ketimbang lewat utara atau tengah. Mungkin karena jalur ini kaya variasi, mulai dari garis pantai hingga ke pegunungan dan lalu lintasnya lebih ramah bagi pesepeda. Seorang teman menyebut jalur ini sebagai The Great Ocean Cycling Path karena di beberapa tempat jalurnya menyusuri pantai Samudera Hindia.
Satu-satunya jalan untuk tahu seperti apa jalur ini adalah menyusurinya sendiri dengan sepeda. Maka untuk menghadiri hajatan Jambore Nasional MTB Federal Indonesia ke-2 di Bumi Perkemahan Ranca Upas, Ciwidey, Bandung, saya putuskan menuju lokasi lewat jalur ini.
Kali ini saya ditemani Yose Rizal (44), dedengkot Bike Pe’a, komunitas pesepeda yang gemar bepergian dengan sepeda lalu berkemah. Sejumlah anggota komunitas ini menuju Ranca Upas lewat berbagai jalur dan cara, namun Rizal tertarik melintasi LSJB bersama saya.
Selasa (21/10/2014) kami bertemu di perempatan Ciawi sudah pukul 13.00 dan langsung bergerak menuju Bagbagan, Pelabuhan Ratu. Setelah berjalan sejauh 131 km hingga pukul 20.30 kami tak kunjung tiba.
Badan sudah lelah dan mata mengantuk. Celakanya, lampu yang dibawa Rizal mati dan lampu saya tertinggal di rumah. Bersepeda malam tanpa lampu itu sungguh tidak benar tapi terpaksa kami lakukan.
Kami hanya mengandalkan lampu kendaraan yang lewat. Setelah berpapasan dengan kendaraan dari depan, rasanya seperti buta sesaat saking gelapnya.
Paginya saat udara masih berkabut, kami lanjutkan perjalanan menuju Bagbagan lalu berbelok ke arah Ujung Genteng. Selepas jembatan Sungai Cimandiri, tanjakan berkelok sepanjang 19 kilometer jadi menu sarapan. Kami mendaki sebuah lereng yang panjang dan tertutup hutan lebat di kanan jalan. Suasana sunyi dan kendaraan yang melintas cukup jarang dengan interval satu-dua menit.
Mentari mulai menghangat
Di langit, sekelompok elang melengking ramai. Gaya terbangnya anggun sekali, dengan sayap membentang mereka melayang di udara. Saking tingginya kami mendaki, beberapa elang terasa dekat dan terlihat sosoknya dengan cukup jelas.
Mentari sudah mulai terbenam di ufuk barat saat kami mencapai Ujung Genteng sejauh 98 km. Kami sempatkan menyusuri jalan setapak berbatu sampai ke dalam hutan dan berakhir di pantai Samudera Hindia. Itulah ujung paling selatan dari Jawa Barat.
Hutan di semenanjung itu rupanya menjadi daerah latihan tempur TNI-AU. Kami buka tenda di halaman Pos TNI AU dekat hutan itu. Komandan pos Kapten Suryanto mengungkapkan, hingga kini rencana untuk membangun pangkalan peluru kendali di Ujung Genteng terbentur soal status lahan yang masih tarik ulur dengan Pemda Jawa Barat.
Ujung Genteng, kawasan wisata pantai itu seperti merana di ujung sana. Plang penanda kawasan ambrol dan jalan berlubang menjelang pantai. Fasilitas publik seperti toilet dan lahan perkemahan tidak ada. Warung remang-remang malah banyak.
HARI ketiga, kami tak membuang waktu mengayuh sepeda kembali ke Surade dan berbelok di pertigaan ke arah Tegalbuleud. Jalan aspal hotmix mulus menuju Tegalbuleud dimulai dari pertigaan itu sampai jembatan Cikaso. Sunyi menyergap saat kami masuk ke lembah Cikaso. Sungai besar yang airnya berwarna kehijauan mengular di dasar lembah yang dipagari hutan lebat. Cahaya mentari pagi menerobos disela pepohonan, berkasnya seperti garis-garis cahaya cemerlang.
Bau kayu bakar yang harum merebak dari rumah-rumah penduduk yang mulai menyambut hari. Elegi pagi itu selalu mampu memompa semangat mengayuh sepeda saat pergi berkelana.