Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ladang Mengolah Tubuh

Kompas.com - 21/11/2014, 09:50 WIB
SEBUAH festival bertajuk ”Padang Bagalanggang” berlangsung selama sepekan di Padang, akhir Oktober sampai awal November lalu. Diikuti seniman tari, musik, dan teater dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Swedia, Jepang, dan India, serta Sumatera Barat, acara ini bisa disebut semacam perayaan tubuh.

Sebagian besar kegiatan berlangsung di sanggar yang menyebut diri Ladang Nan Jombang. Sebagian lagi di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya yang merupakan sponsor utama.

Hampir semua peserta menampilkan karya berupa eksperimen-eksperimen yang berhubungan dengan tubuh. Di luar seni tari yang jelas merupakan bagian estetika tubuh, teater sampai musik yang ditampilkan, terutama oleh kelompok-kelompok dari Sumatera Barat, kelihatan berakar kuat pada tradisi olah gerak mereka, yakni randai.

Randai merupakan kesenian yang lengkap. Ada cerita dan dialog yang diambil dari cerita rakyat, lalu ada unsur tari yang disebut gelombang. Musik berupa dendang dan tepukan tangan, pukulan pada tubuh, serta paling spesifik pukulan pada celana gombor mereka yang disebut galembong. Hal paling dasar dari randai adalah basis kesenian ini, yaitu silat.

Kelompok-kelompok dari Sumatera Barat menampilkan karya mereka, entah itu teater, tari, atau musik, dengan mengekspresikan kekuatan tradisi mereka tadi pada kemungkinan-kemungkinan yang tersedia kini. Dengan itu, hampir semua kelompok dari Sumatera Barat pada festival ini tampil menonjol. Secara keseluruhan, angin segar dan kebaruan diembuskan kelompok-kelompok dari Asia.

Militan

Tempat penyelenggaraan kegiatan, yakni Ladang Nan Jombang, itu sendiri bahkan bisa menarasikan suatu pergulatan tubuh. Tidak terbayangkan, di kampung di pinggiran Kota Padang—sekitar 12 kilometer dari pusat kota—terdapat sanggar yang menyediakan tempat pertunjukan seperti ini. Teater tertutup mereka memadai untuk pertunjukan-pertunjukan seni bertaraf internasional. Ada peserta asing ngomel-ngomel karena tidak mendapat jatah tampil di arena ini, tetapi di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya.

Ery Mefri, penggagas acara yang bersama seniman setempat, Ibrahim Illyas, bertindak sebagai kurator, membangun sanggar itu dengan jatuh bangun sebagai penari. Menurut penuturan istrinya, Angga, sanggar di atas lahan 2.500 meter persegi tersebut dibangun dari hasil ”wira-wiri mengadakan pertunjukan di sejumlah negara”.

Sebagai kelompok tari, Nan Jombang Dance Company merupakan kelompok ”militan”. Penari utama dari kelompok ini adalah istri dan anak-anak Ery sendiri. Angga merupakan motornya, didukung oleh empat anak, Rio Mefri, Geby Mefri, Intan Mefri, dan Ririn Mefri.

Nan Jombang dibentuk Ery tahun 1983. Selain membuat karya, Ery juga menyelenggarakan festival. Mulai tahun 1988, setiap tahun dia menyelenggarakan Gelanggang Tari Sumatera.

”Tahun 2003 berhenti karena kehabisan napas,” cerita Angga. Untuk membiayai kegiatan itu katanya matian-matian mereka terpaksa menjual rumah. Sebagai pegawai negeri waktu itu—kini ia telah pensiun—katanya Ery juga tidak pernah menerima gaji. Dia telah menggadaikan surat atau SK-nya.

Ladang tubuh

Seiring kemajuan sanggar tarinya serta berbagai undangan yang mereka peroleh untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara, baik Asia, Eropa, Amerika, maupun Australia, perlahan-lahan mereka mampu membangun Ladang Nan Jombang itu.

”Organisasi dan cara kerja mereka sebagai grup sangat efisien karena semua anggota merupakan keluarga,” kata seorang seniman yang sangat dekat dengan mereka. ”Setiap lawatan juga merupakan piknik keluarga. Mereka menyiapkan makanan sendiri. Mereka membawa bekal bumbu-bumbuan dan bahan makanan, memasak sendiri. Mungkin karena mereka penari, dengan olah tubuh yang ketat. Makanan harus siap, tidak bisa hanya diisi hamburger kalau di luar negeri,” tambah seniman tadi.

Soal militansi itu diakui Angga. Ery bisa membangunkan anak-anaknya tengah malam kalau tiba-tiba dia punya ide. Langsung anak-anak disuruh ke tempat latihan malam itu juga untuk berlatih.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com