Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayam Kampung Warisan Mbah Cemplung

Kompas.com - 26/11/2014, 08:32 WIB
NENEK sebatang kara itu bernama Mbah Cemplung karena berasal dari Desa Cemplung. Dari tangannya lahir lezatnya ayam kampung goreng. Mbah Cemplung meninggal dalam usia 96 tahun. Namun, resep ayam kampungnya terus hidup dan digandrungi pesantap di Warung Mbah Cemplung.

Warung Mbah Cemplung berada di Desa Kasongan, Kecamatan Bangunjiwo, Bantul, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Setelah melewati ladang dan kebun, kami mendapati warung yang sebagian berlantai tanah dan berjajar meja-meja. Di bagian lain, lantai diplester semen dan beberapa pelanggan duduk lesehan menikmati ayam kampung goreng. Oleh karena siang itu gerah, kami memilih meja di luar ruangan di bawah pohon kelapa. Sungguh sebuah suasana kampung.

Kami memesan dua ekor ayam ingkung alias ayam yang masih utuh. Ukurannya ”jumbo” dengan berat 2,5 kilogram per ekor. Bisa juga kita memilih per bagian semisal paha atas dan bawah, atau dada. Ayam kampung goreng disajikan hanya dengan nasi putih, sambal cabai mentah, cabai goreng, dan pete yang digoreng sekulit-kulitnya. Sempat muncul rasa ”curiga” dagingnya pasti keras karena ukurannya yang terbilang jumbo. Ternyata meleset, karena daging ayam begitu empuk, gurih sejak lapisan kulit hingga tulang.

Pemilik warung Mbah Cemplung, Sadiyo (66), menjelaskan, ayam kampung itu dimasak dengan cara direbus selama empat jam dengan bumbu-bumbu yang menjadi rahasia Warung Mbah Cemplung. Ayam lantas ditiriskan semalam penuh sebelum direbus kembali keesokan harinya. Perebusan hingga dua kali itu untuk mengangkat lemak-lemak pada daging ayam. Perebusan ayam menggunakan api tungku berbahan bakar kayu akasia, jati, dan mahoni. Ini untuk menjaga agar cita rasa ayam terjaga karena tidak terkontaminasi dengan bau minyak atau gas.

Kelezatan masakan Warung Mbah Cemplung juga ditentukan oleh cara Sadiyo memilih ayam. Syarat utama, harus ayam kampung yang dilepas-liarkan, bukan ayam kandang. Beratnya tak boleh kurang dari 1,2 kilogram. ”Kalau kurang dari itu beratnya, ayam masih ayit, belum ada rasa gurihnya. Dagingnya juga mudah lumer. Nah, paling gede bobotnya 3,5 kilogram. Di atas itu, terlalu keras,” kata Sadiyo.

Dan nyata benar perbedaan rasa antara ayan negeri dan ayam kampung. Rasa gurih alami daging ayam kampung tak dijumpai di ayam negeri. Ayam-ayam itu dibeli langsung dari warga yang tinggal di sekitar Kasongan, seperti Kecamatan Pajangan, Sewon, dan Kasihan. Pedagang ayam tiap pagi berbondong-bondong ke Warung Mbah Cemplung untuk menjual ayam. Dalam sehari, Sadiyo menjaring 40 ekor sampai 60 ekor ayam. Pada musim liburan, ia memerlukan hingga 80 ekor ayam per hari.

Pelanggan dapat menikmatinya dengan memesan minuman es tape atau wedang uwuh, khas Yogyakarta. Es tape ketan diramu dari tape ketan, yang diwarnai menjadi hijau muda, dicampur sedikit gula. Rasanya yang manis bercampur asam dan dingin, memunculkan sensasi segar. Sangat pas diminum setelah manyantap ayam kampung goreng di siang hari.

Adapun wedang uwuh adalah minuman hangat berwarna kemerahan dan agak pedas. Campuran di dalamnya antara lain secang dan jahe. Selain itu, terdapat rempah-rempah dan dedaunan yang sekilas mirip kumpulan sampah (uwuh).

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Suasana warung Mbah Cemplung di Desa Kasongan, Kecamatan Bangunjiwo, Bantul.
Lahir dari simpati

Warung Mbah Cemplung lahir dari keprihatinan Sadiyo kepada Mbah Cemplung, perempuan sebatang kara. Perempuan bernama asli Rejo Sida itu dulu sempat luntang-lantung. Rupanya Mbah Cemplung gemar memasak. Sadiyo lantas memberinya modal berjualan pada tahun 1973. Awalnya Mbah Cemplung berjualan bubur, wedang uwuh, dan intip goreng. Oleh karena tidak begitu laku, iseng-iseng dia memasak ayam kampung goreng.

Makin hari-makin banyak peminatnya. Sadiyo menilai cara masak Mbah Cemplung tak biasa, yakni merebus ayam hingga dua kali. Tapi masakannya gurih. Lambat laun, Warung Mbah Cemplung makin ramai. Sepeninggal Mbah Cemplung, resep ayam goreng lezat itu terwariskan kepada Sadiyo beserta istri dan anak-anaknya. Resep masakan itu disempurnakan oleh Kanti (26), salah satu anak Sadiyo yang bersekolah di sebuah SMK di Yogyakarta. ”Ada beberapa bumbu yang saya masukan dalam rebusan ayam agar lebih gurih. Ini rahasia kami,” kata Kanti.

Warung Mbah Cemplung terus tumbuh dan menjadi sumber penghidupan bagi keluarga Sadiyo. Tak kurang dari 16 sanak saudara Sadiyo bekerja di warung Mbah Cemplung. Inilah berkah yang tidak pernah disangka Sadiyo. Bahwa menolong orang yang dalam kesusahan mendatangkan berkah dan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan itu kini dirasakan oleh para penyantap ayam kampung goreng warisan Mbah Cemplung. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com