Tak gampang mencari lokasi bekas penjara Banceuy karena nyaris tak ada jalan yang leluasa untuk dilalui, meskipun sebenarnya lokasi ini dapat diakses melalui jalan belakang Factory dan Jalan ABC, di pusat Kota Bandung. Bekas penjara Banceuy dikepung puluhan rumah toko dan gedung perkantoran setinggi puluhan meter. Penjara Banceuy yang bersejarah itu tersamar di tengah hiruk-pikuk urusan dagang.
Setelah melalui jalan yang lebih mirip lorong di antara ruko dan gedung perkantoran, tampaklah lahan berpagar besi. Di tengah lahan itu berdiri bangunan yang sekilas tampak seperti toilet umum. Itulah sel tempat Soekarno dikurung selama delapan bulan sejak 9 Desember 1929 karena dituding hendak melakukan pemberontakan bersenjata dan mengorganisasi kekuatan lewat Partai Nasional Indonesia.
Pintu masuk bekas penjara ini selalu terkunci. Achmad sebagai penjaga hanya membuka pintu jika ada pengunjung yang sudah membuat janji atau meneleponnya. Tempat ini dulu merupakan penjara di zaman kolonial yang dibangun di atas lahan satu hektar. Tipe sel dibagi dua, yakni sel untuk tahanan jelata atau pepetek dan sel untuk tahanan politik. Soekarno menghuni sel nomor 5 di Blok F yang terdiri atas 36 sel untuk tahanan politik.
Dingin dan pengap
Sel Bung Karno hanya selebar 1,5 meter, panjang 2,1 meter, dan tinggi 2,5 meter. ”Betul-betul sepanjang peti mayat,” kata Bung Karno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sel itu berlantai semen nan dingin. Pintu besinya berderit saat dibuka. Di atas pintu juga terdapat jendela berjeruji sebagai ventilasi udara. Di sebelah kiri terdapat kayu jati selebar 45 cm tertutup selimut putih bergaris biru dan bantal berkulit karung bekas yang dihiasi bendera Merah Putih mungil. Di atas papan itulah Bapak Bangsa itu tidur.
Pada dinding di atas tempat tidur itu terpasang logo Garuda dan tiga foto Bung Karno dalam pigura. Di pojok ruangan terdapat kaleng yang berfungsi sebagai tempat buang air. Selama di penjara, setiap hari Soekarno harus mengambil kaleng itu dari kolong tempat tidur, membawanya ke kamar mandi, lalu membersihkannya.
Kaleng itu juga yang dia manfaatkan sebagai pengganti meja selama satu setengah bulan menulis naskah heroik ”Indonesia Menggugat”, pembelaan Bung Karno atas tuduhan Belanda yang dia anggap tidak mendasar. Pembelaan yang dibaca Soekarno di gedung pengadilan kolonial (sekarang Gedung Indonesia Menggugat) pada 18 Agustus 1930 itu begitu menginspirasi dan mengundang simpati sehingga diterbitkan dalam belasan bahasa.
Soekarno sebagai tergugat membalik psikologi sidang pengadilan menjadi penggugat mewakili hati dan rakyatnya. Dia fokus menuntut kemerdekaan. Gaung pleidoi ini terdengar hingga Belanda sehingga Partai Buruh bergolak mendukung Soekarno. Pleidoi Soekarno menginspirasi tokoh-tokoh Asia untuk turut menuntut kemerdekaan negara mereka. Dari ruang sempit itu, Soekarno membakar semangat dunia.
Soekarno makin tersiksa lantaran dilarang berkomunikasi dengan rekan-rekan seperjuangannya, termasuk dengan belahan jiwanya, Inggit Garnasih. Bung Karno hanya berteman dengan cicak sebagai pengusir sepi.
Baru pada hari ke-40, Belanda mengizinkan Soekarno bertemu dengan Inggit di ruang tamu penjara yang dibatasi jaring kawat. Hanya lima menit mereka diizinkan bertemu. Meskipun kedua insan itu didera rindu, suasana menjadi kaku karena pertemuan mereka dijaga ketat dan segala ucapan dicatat penjaga. Sentuhan tangan pun dilarang.
”Istriku hanya memandang ke dalam mataku, dan dengan seluruh kasih yang dapat dicurahkannya ia berkata, ’Apa kabar?’” kata Bung Karno.