Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengakrabi Percandian di Batu Jaya

Kompas.com - 02/02/2015, 13:07 WIB
SITUS percandian Batu Jaya di Karawang, Jawa Barat, ditemukan sejak 1984. Namun, hingga kini publik belum banyak mengenal peninggalan bersejarah dari Kerajaan Tarumanegara abad ke-5 Masehi itu. Bagi para peneliti atau arkeolog, situs yang telah berulang kali diekskavasi itu juga masih menyimpan banyak misteri.

Kenapa Candi Serut di situs percandian Batu Jaya itu berbentuk miring? Kenapa ada lubang-lubang menyerupai penyangga tiang di Candi Blandongan, dan apa fungsinya? Banyak pertanyaan mengenai Batu Jaya yang saat ini belum bisa dijawab baik oleh pejabat maupun arkeolog di Balai Pelestarian Cagar Budaya. Perlu kajian lebih lanjut untuk mengungkapnya.

Pada musim hujan ini, beberapa candi dan unur di Batu Jaya terendam air. Unur adalah bukit-bukit sinusoidal dengan struktur menyerupai percandian, atau bagian dari percandian. Bahkan, di satu lokasi di Telaga Jaya 8, satu unur, yakni Situs Sumur, sepenuhnya tenggelam, tak satu bongkah pun tersembul, seperti tampak saat Kompas menyambanginya pertengahan Januari 2015. Setengah Candi Serut juga terendam air, menyembunyikan beberapa sekat menyerupai ruang yang ditemukan dalam proses ekskavasi belum lama ini.

”Kalau tidak terendam air, akan terlihat ruang-ruang kosong di tengah Candi Serut ini, lalu ada penahan kayu memanjang. Lalu, ada seperti pagar bergelombang, sekat-sekat yang mungkin untuk ruang-ruang biksu karena candi ini, kan, untuk peribadatan. Sekeliling candi ini masih terus digali untuk mengetahui luas seluruhnya,” kata Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang Zakaria.

Candi Serut, yang terletak sangat dekat dengan perkampungan warga ini, berbentuk miring. Belum diketahui penyebab kemiringan itu, disengaja, anjlok, atau ada sebab lain. Yang pasti, kemiringan Candi Serut tetap dipertahankan pada saat pemugaran mengingat salah satu syarat pemugaran adalah harus sesuai dengan aslinya.

Sebanyak 53 candi dan unur bata di Batujaya diyakini hadir pada masa Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 Masehi. Semua itu dikelola BPCB Serang, yang bertanggung jawab kepada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud) dan dimonitor Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud. Nama BPCB Serang merujuk pada lokasi kantor pusatnya, yakni di Serang, Banten. Namun, BPCB Serang ini menaungi 1.059 cagar budaya yang tersebar di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung, termasuk Batu Jaya.

Situs Batu Jaya menjadi prioritas pelestarian sejak ditemukan pada tahun 1984 oleh tim dari Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (berdasarkan informasi warga) yang saat itu sedang meneliti situs Cibuaya. Banyak penemuan menarik di sini selain percandian. Salah satunya, 16 rangka manusia yang ditemukan tiga kali, yakni pada 2005 (7 rangka), pada Mei 2010 (6 rangka), dan pada Oktober 2014 (3 rangka). Penemuan lain antara lain berupa gelang emas, manik-manik, gerabah, keramik, dan senjata logam.

Ras Mongoloid

Analisis morfologis terhadap rangka-rangka manusia itu menunjukkan ada komponen anatomis yang hampir lengkap di sebagian besar rangka, dari tengkorak hingga pergelangan kaki. Tulang-belulangnya sangat tebal dan keras. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud Harry Widianto dengan fasih menjelaskan ciri-cirinya. Bentuk tengkorak yang tinggi dan bundar termasuk jenis tengkorak brachycephal. Melihat langit-langit rahang atas, muka yang datar, keausan gigi, dan ciri-ciri lain, semua itu menunjuk pada jenis ras Mongoloid, ras kita saat ini.

Bambang Budi Utomo beserta tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menganalisis pertanggalan melalui metode C-14 dengan sampel arang dari hasil penggalian di Candi Blandongan. Hasilnya, rangka manusia yang ditemukan di situs itu diperkirakan hidup abad ke-2 hingga ke-3 Masehi, periode akhir dari Masa Prasejarah di Indonesia.

”Hampir pasti, inilah kuburan para pendukung budaya Buni, budaya masa paleometalik yang sangat akrab dengan alat-alat logam dan mengembangkan teknologi gerabah berslip merah pada akhir prasejarah di Jabar. Kalau melihat candi-candi yang mengacu pada budaya Hindu dan Buddha, mereka ini mewakili masyarakat dari zaman peralihan, prasejarah ke sejarah. Mereka hidup dengan pola prasejarah, tapi memeluk agama baru, lantas mendirikan candi,” papar Harry, yang juga arkeolog dan ahli paleoantropologi.

Penelitian

Sejak penemuan pertama Situs Sumur, ekskavasi demi ekskavasi terus dilakukan di lokasi yang diperkirakan seluas 5 km persegi itu. Hingga 2012 ditemukan 39 titik sebaran candi, dan bertambah 14 titik dalam kurun dua tahun, dan hingga kini menjadi 53 titik. Rinciannya, 23 berstruktur candi, sedangkan sisanya berupa unur, menhir, dan artefak tua. Dari jumlah itu, baru dua candi yang sudah dipugar, yakni Candi Jiwa (tahun 1990-an) dan Candi Blandongan (2002).

Masih ada banyak titik yang menunjukkan adanya unur atau bukit-bukit sinusoidal yang berpencar di tengah hamparan sawah. Banyak yang harus dikaji selain delienasi atau penetapan luas kawasan cagar budaya. ”Seperti zonasi atau peruntukan situs, fungsi bangunan juga dikaitkan dengan konteks kesejarahan,” kata Kepala BPCB Serang Yusuf Budi Ariyanto.

Candi tertua dari Kerajaan Tarumanegara ini akan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional setelah proses delienasi usai. Setelah itu, perlakuan terhadap Batujaya bakal lebih terpadu. Anggaran juga lebih besar, termasuk untuk memperluas Museum Cagar Budaya Situs Batujaya yang masih mungil, hanya sekitar 40 meter persegi.

Jika semua rencana itu berjalan lancar, penelitian lebih lanjut di situs ini bisa lebih digiatkan lagi demi mengungkap sejarah peradaban Nusantara yang masih tersamar.  (Susi Ivvaty)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com