Di tepi tebing Bukit Rindu Alam berdiri gubuk atau panggung kayu berlantai keramik. Beberapa sepeda motor terparkir di dekatnya, sementara sang pengendara tertidur dibuai sepoi angin perbukitan. Mereka menikmati betul udara siang itu.
Kami memilih salah satu panggung untuk rehat. Kantuk segera menyerang dan hampir saja kami tertidur. Namun, kami memilih terjaga untuk menikmati angin dan keindahan alam.
Dari atas bukit, kami melihat lanskap Kota Singkawang yang dikelilingi perbukitan Pasi, Sakok, dan Poteng serta dicegat Selat Karimata. Rupanya kondisi geografis itulah sumber inspirasi nama Singkawang, dalam bahasa Khek menjadi San Khew Jong, bermakna sebuah kota yang terletak di perbukitan, dekat laut, dan muara.
Di bawah kami deburan ombak menghantam karang. Tak jauh dari sana, beberapa orang berlarian di Pantai Tanjung Bajau yang tak lain merupakan kaki Bukit Rindu Alam. Pantai Tanjung Bajau pula yang menghubungkan Pantai Pasir Panjang dan Sinka Island Park, tempat bercokolnya Pulau Simping yang diklaim sebagai pulau terkecil di dunia dan sudah tercatat di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Paling tidak begitu yang tertulis dalam flyer dan papan di tepi jalan.
Kala itu memang hanya belasan orang yang berkunjung sehingga kami bebas berkeliling dari Pantai Panjang, Pantai Tanjung Bajau, hingga Bukit Rindu Alam. Kondisi itu juga yang dipilih A Yong alias Manto (39), pengusaha properti. Dia bersama enam rekannya sengaja mampir untuk berenang di Pantai Tanjung Bajau.
Setiap ke Singkawang untuk urusan bisnis, Manto selalu menyempatkan diri untuk mampir ke pantai ini. Kalaupun tidak berenang, biasanya sekadar duduk-duduk di gubuk sambil minum kopi seperti yang kami lakukan sore itu.
Kota bertabur kelenteng
Menjelang sore, kami kembali ke Kota Singkawang yang berjarak sekitar 13 kilometer. Malam merambat lebih cepat diiringi gerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat. Kota Singkawang tiba-tiba senyap, padahal baru sekitar pukul 21.00. Toko-toko tutup dan jalanan sepi. Namun, lampu-lampu lampion di kelenteng-kelenteng yang merah menyala itu memberi kesan hangat.
Kelenteng bertebaran di kanan-kiri jalan. Hampir setiap 500 meter berdiri kelenteng baik kecil maupun besar. Pantas Singkawang disebut sebagai ”Kota Seribu Kelenteng”. Salah satu yang terlihat mencolok adalah Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya yang terletak di Jalan Diponegoro. Posisi kelenteng tertua yang berdiri pada 1878 ini sangat strategis karena berada di pusat kota, tak jauh dari pasar. Kelenteng ini menjadi salah satu ikon Singkawang.
Setelah mengelilingi pusat kota, lapar menyerang. Kami memilih beringsut ke salah satu tenda milik pedagang kaki lima di Pasar Hongkong, sekitar 200 meter dari Masjid Raya Singkawang. Malam itu, sup kambing membantu mengusir dingin.
Pasar ini menyediakan beragam menu makanan baik dari Jawa, Padang, maupun Tionghoa. Bahkan terdapat kuliner ekstrem seperti masakan berbahan ular. Sayangnya tidak ada masakan yang khas Singkawang. ”Yang dijual di sini rata-rata masakan dari luar. Tidak ada masakan khas Singkawang,” kata Yoris (26), warga Singkawang, yang menemani kami.
Malam itu sebenarnya kami menikmati suasana sambil mendengarkan musik. Kabarnya di Singkawang terdapat studio televisi dan radio yang menggelar acara karaoke berbahasa Mandarin secara live tiap malam. Sayangnya malam itu libur karena hujan. ”Setiap hujan, sepi pengunjung. Apalagi hujannya lebat,” kata Asep Priatna (40), penanggung jawab Radio Bomantara FM.
Kami melanjutkan keliling kota. Di tengah jalan, telinga kami lamat-lamat mendengar suara orang bernyanyi. Rupanya itu suara Mirza (37) yang bernyanyi bergantian dengan rekan-rekannya di Kafe AA milik Yoni (30). Sudah tiga lagu dia nyanyikan. Semuanya lagu Malaysia milik UK’S dan Exist.
Mirza biasa menghabiskan waktu untuk karaoke antara tiga jam sampai lima jam. Dalam sepekan bisa sampai empat kali. ”Murah saja, paling habis Rp 50.000 semalam,” kata lajang yang bekerja sebagai penjaga toko itu.
Karaoke murah meriah inilah yang menjadi pelipur sepi para pemuda Singkawang. Maklum, tak ada gedung bioskop ataupun tempat hiburan lain. Lagi pula, kata Mirza, main internet pun tak selamanya menghibur.
Dalam semalam, jumlah pengunjung kafe seperti milik Yoni bisa mencapai puluhan dan tak kurang dari 100 lagu diputar. Malam itu kami turut menikmati nyanyian Mirza dan menyumbang beberapa lagu sebelum akhirnya tunduk oleh kantuk. Kantuk kali ini bukan oleh angin Bukit Rindu Alam, melainkan oleh rasa capai.... (MOHAMMAD HILMI FAIQ)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.