Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarian Ladang Kehidupan dari Gunung

Kompas.com - 08/03/2015, 15:34 WIB

KERIUHAN di kaki Gunung Sumbing, Magelang, terasa istimewa. Para petani dan buruh meliburkan diri. Mereka berduyun- duyun menuju Dusun Krandegan. Pintu-pintu rumah warga dibuka lebar dan perapian menyala hingga larut malam. Setelah gamelan ditabuh, tubuh-tubuh pun menari, menari....

Inilah cara masyarakat desa mengucapkan rasa syukur: serba spontan, tetapi kompak bergerak sebelum akhirnya berterima kasih atas karunia alam pegunungan yang kaya.

Sehari sebelum pentas seni digelar, warga menghiasi jalanan utama yang tanjakannya sangat curam di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kajoran, dengan tanaman bambu, boneka jerami pengusir burung, hingga dedaunan aneka warna. Di antara hijau tanaman loncang dan kentang, terpajang spanduk besar bertuliskan: ”Ritus Regenerasi Lima Gunung”.

Beragam seni digelar para seniman yang bermukim di lima gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, dan Sumbing). Pagi-pagi benar ketika matahari masih lelap di balik Gunung Sumbing, tuan rumah membuka pertunjukan dengan suguhan tari warok dan topeng ireng. Di antara tetabuhan gamelan, seekor burung elang dengan sayapnya yang lebar melayang di udara.

Para seniman menyuguhkan kesempurnaan seni yang lahir dari hati. Mereka pernah pentas di Gedung Kesenian Jakarta dan menghibur korban tsunami di Aceh. Kali ini mereka tampil di atas ladang nganggur milik Sumitro, berlatar cantiknya lanskap Gunung Sumbing.

KOMPAS/EDDY HASBY Pemain Srandul.

Keindahan gerak sejatinya hanya aksesori karena sumber utama kegembiraan justru berasal dari alam itu sendiri. Menghirup udara pagi nan segar, penari warok Titis Cahyo Mudo Sumbing dan penari jaran kepang berjalan satu per satu menapaki galangan sawah. Langkah mereka tegap terbiasa dengan licinnya jalur pendakian.

Sambil berjalan telanjang kaki, mereka membicarakan apa saja, mulai dari kecelakaan pesawat hingga berita terhangat tentang kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak heran jika mereka kemudian juga memajang spanduk bertuliskan ”Anak Cucu vs Koruptor”.

Kesenian menjadi napas kehidupan warga Dusun Krandegan. Sekitar 90 persen dari 415 keluarga yang tinggal di sana, dari anak balita hingga lansia, bisa menari. Di dusun di lereng Gunung Sumbing ini terdapat 13-14 kelompok kesenian. Warga dusun memiliki agenda kesenian sebagai tradisi sekaligus demi kegembiraan hati.

Seluruh penari warok adalah petani. Mereka menjadikan ladang sebagai panggung seni. Berbaris di atas sisa-sisa tanaman tembakau dan kubis, mereka memperkenalkan jati diri sebagai warok gunung sebelum kemudian menari.

Dibalut kesederhanaan

Seiring suara gamelan yang makin rancak beberapa penari mulai kesurupan. Ada yang kemasukan roh para leluhur penghuni Gunung Sumbing hingga roh raksasa penjaga gunung. Surahno (27), sopir mobil sayur dengan tubuh kekar dan tato di sekujur tangannya, tiba-tiba jatuh sempoyongan. Perlahan, ia menggeram lalu bangkit seolah telah berubah menjadi raksasa. Konon, Surahno sedang dipinjam raganya oleh panglima raksasa penjaga Gunung Sumbing.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Anggota Sanggar Saujana bersiap tampil.

Dalam iringan tetabuhan, Surahno terus menari. Ia kemudian mendekati pawang yang kemudian menyodorkan kayu dengan bara api panas di ujungnya. Seolah sedang makan sate bakar, ia begitu lahap mengunyah bara api. Sesaat kemudian, para pawang memberinya silet tajam yang segera dikeramus lalu ditelan. ”Tidak terasa efek makan silet dan api. Endak sakit perut. Badan saya cuma dipinjam,” kata Surahno yang sudah belasan tahun menari warok.

Belum kelar pertunjukan warok, pergelaran makin meriah dengan kehadiran 18 pemuda yang tampil gagah dengan kepala berhias bulu-bulu ayam. Hiasan bulu ayam merupakan modifikasi baru sebagai pengganti rerumputan atau pucuk daun cemara yang dulu digunakan sebagai mahkota. Gemerincing lonceng berpadu dengan langkah tegap sepatu tentara rombongan topeng ireng Tongkat Pundoko.

Wahab (35) bertugas sebagai pawang memakai baju hitam-hitam lengkap dengan cemeti serta tongkat di tangan. Konon, cemeti itu dibuat dari kupasan batang pisang yang tumbuh di kawah Gunung Sumbing. Ia bertugas menyadarkan para penari ketika mereka mulai kesurupan roh-roh dari leluhur.

Wahab dan mayoritas penari topeng ireng sejatinya adalah buruh bangunan yang bekerja di Yogyakarta. Mereka cuti dari pekerjaan begitu mendengar adanya permintaan tampil menyuguhkan kesenian. ”Kalau lama tidak tampil, pol kangennya,” kata Wahab.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com