Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebudayaan Bima yang Tinggi dan Toilet yang Jorok

Kompas.com - 17/03/2015, 15:13 WIB

DALAM Ekspedisi 200 Tahun Gelegar Tambora, saya menyempatkan diri salat Jumat di Masjid Sultan Muhammad Salahuddin. Ini masjid penting. 

Menurut catatan yang terdapat di dalam masjid, masjid ini dibangun pada 1770 oleh sultan Bima ke-8, Sultan Abdul Kadim Zillulah Fil Alam. Namun, karena terakhir dipugar pada masa sultan terakhir, Sultan Muhammad Salahuddin, jadilah masjid ini dinamakan demikian.

Letaknya di alun-alun Serasuba, yang merupakan alun-alun utama Kota Bima. Artinya, masjid ini menjadi simbol religi (Islam) bagi kota tersebut.

Begitu pula Museum Asi Mbojo, yang juga terletak di kawasan alun-alun. Bangunannya masih megah, dan memperlihatkan arsitektur Eropa dan tradisional Bima yang kental. Museum yang menyimpan beragam koleksi peninggalan Kesultanan Bima—banyak di antaranya berupa perangkat keseharian dan protokoler kesultanan yang terbuat dari emas—dulunya merupakan istana kesultanan Bima, yang berdiri pada 1927. 

Sayangnya, nilai sejarah dan budaya yang penting itu tidak dibarengi dengan praktik sehari-hari masyarakatnya. Toilet dan kamar kecil di kedua bangunan tinggalan masa lalu tersebut sangat kotor dan menjijikan. Di Masjid Sultan Muhammad Salahuddin, lantai toiletnya sudah hitam, dan agak bau. Begitu pula toilet di Museum Asi Mbojo, yang terletak agak jauh dari bangunan utama; terlihat seperti tidak pernah digunakan, dan tidak pernah dibersihkan. Seperti toilet di sebuah rumah tak bertuan di dalam suatu hutan antah-berantah. Padahal ini di tengah kota.

Saya mencoba menanyakan hal tersebut kepada Nurhani, seorang juru pelihara museum yang sudah bekerja di sini sejak 1989. Namun, ia hanya menjawab seadanya, dan tidak jelas maksudnya: "Begitulah orang Bima," katanya.

Tentu saja saya tidak ingin menghakimi orang Bima, karenanya saya tidak berminat untuk mencari tahu lebih jauh. Hanya saja, sangat disayangkan jika tinggalan budaya dan bersejarah seperti dua bangunan itu ternyata sebatas melankolisme masa lalu, yang tidak bersisa di masa kini. (Firman Firdaus)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com