Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memburu Angin Hingga ke Paris

Kompas.com - 19/03/2015, 10:21 WIB

CUACA di Pantai Parangtritis atau yang akrab disingkat Pantai Paris, Bantul, Yogyakarta, siang itu terbilang cerah. Angin pun bertiup tidak terlalu kencang dari arah barat daya hampir sepanjang hari. Kondisi seperti inilah yang ideal dan sangat ditunggu para pilot paralayang untuk terbang menyusuri pantai selatan Yogyakarta yang indah.

Setiap tahun pada bulan Desember hingga Maret, Pantai Parangtritis selalu didatangi para pencinta olahraga dirgantara (aerosport) dari berbagai komunitas dan daerah, khususnya paralayang. Pada bulan tersebutlah angin bertiup dari arah barat daya, yang merupakan arah angin yang ideal untuk terbang dari puncak bukit yang berada di sebelah sisi timur Pantai Parangtritis.

Dari ketinggian 350 meter di atas permukaan air laut, pilot paralayang lepas landas dan parasut perlahan terangkat akibat dorongan angin yang membentur dinding bukit. Perasaan tegang saat lepas landas berganti suasana yang begitu tenang dan damai saat parasut mulai melaju dengan stabil. Menikmati terbang selama 15-20 menit menyusuri bibir pantai dengan kecepatan 20-30 kilometer per jam, bak burung elang yang tengah mengintai mangsa.

Pilot paralayang tidak saja berasal dari Yogyakarta, tetapi datang dari sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya Ryan Junianda, pria asal Medan, Sumatera Utara, yang sengaja datang ke Yogyakarta untuk menikmati sensasi terbang di Parangtritis.

Ryan yang diwarisi paralayang dari kakaknya, M Iman, sejak lima tahun lalu, mulai serius mendalami olahraga ini sejak tahun lalu. Ia khusus belajar dan mengambil lisensi sebagai pilot pemula paralayang di bawah naungan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Melalui pelatihnya, Emir, Ryan mulai belajar paralayang di Medan hingga akhirnya ia bisa keliling Indonesia menikmati keindahan alam, salah satunya di pantai selatan Yogyakarta.

Senada dengan Ryan, Agus Sumanjaya mengemudikan mobil pribadinya dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, ke Yogyakarta khusus untuk terbang paralayang. Agus yang mengawali terbang paralayang sejak November 2013 ingin menikmati keindahan alam Indonesia dengan cara yang lain. Selama sepekan, pria yang berprofesi sebagai instruktur selam tersebut terbang di atas pantai selatan Yogyakarta. ”Sensasi terbang di Parangtritis itu selain karakter angin yang relatif stabil juga bisa terbang lama dan pastinya bisa menambah pengalaman,” ujar Agus.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Komunitas penggemar olahraga paralayang berkumpul di Pantai Parangtritis, Bantul, DI Yogyakarta.

Tak ingin menyia-nyiakan waktunya, Agus menyempatkan singgah di beberapa lokasi terbang paralayang, antara lain di Kemuning, Karanganyar, Jawa Tengah, dan Majalengka, Jawa Barat. Berpindah lokasi terbang, menurut dia, bisa menambah keterampilan terbang. Keseriusan Agus mendalami paralayang antara lain dengan membekali keterampilan terbangnya dengan mengikuti kursus simulasi situasi dalam penerbangan yang dikenal dengan istilah SIV (simulation d’Incident en vol) di Nepal pertengahan bulan Februari lalu. Kursus ini penting bagi pilot paralayang untuk menangani situasi darurat jika kondisi parasut mengalami kendala saat terbang.

Lisensi

Menjadi pilot paralayang relatif tidak membutuhkan waktu yang lama, tetapi tentunya harus belajar pada instruktur profesional yang diakui oleh FASI. Lama tidaknya belajar paralayang tentunya berbeda untuk setiap orangnya. Beberapa siswa paralayang bahkan sudah bisa terbang dalam waktu tiga hingga lima hari saja. Jika cuaca mendukung dan belajar secara intensif, dalam waktu tiga pekan hingga satu bulan seorang siswa sudah bisa mengantongi lisensi pilot pemula paralayang.

Di lokasi pendaratan, dua siswa baru, Miko dan Shiela, untuk kali pertama dikenalkan paralayang oleh instrukturnya, Capung Indrawan. Di bawah terik matahari, wajah Miko memerah dan lusuh oleh keringat yang deras menetes. Lelah bercampur senang tergambar di raut bocah berusia 13 tahun itu. Belajar mengendalikan parasut di darat (ground handling) adalah proses awal yang harus dilalui Miko dan setiap calon pilot paralayang sebelum dilepas terbang.

Seorang pilot tentunya diwajibkan menggunakan perlengkapan terbang yang memenuhi standar keamanan. Parasut yang digunakan harus dalam keadaan layak untuk terbang dan sesuai dengan ukuran berat badan pilot. Harnest sebagai penghubung dengan tali parasut yang juga berfungsi sebagai tempat duduk harus disesuaikan pula dengan tinggi dan berat badan pilot. Perlengkapan lain yang diperlukan yaitu helm dan radio komunikasi, serta parasut cadangan jika terbang di atas ketinggian 50 meter.

Perlengkapan paralayang sebagian besar masih didatangkan antara lain dari negara di Eropa, Amerika, Australia, Jepang, dan Korea. Satu set perlengkapan paralayang baru harganya bisa di atas Rp 30 juta. Namun, tak sedikit pilot yang mencari barang bekas yang masih layak untuk terbang dari sesama pilot ataupun melalui media daring karena harganya lebih terjangkau.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Paralayang di Pantai Parangtritis, Bantul, DI Yoyakarta.

Paralayang tidak saja dilakoni mereka yang berkecukupan dan sekadar mencari hobi. Suyit salah satunya. Pria asal Boyolali, Jawa Tengah, yang sehari-hari berprofesi sebagai pengangkut kotoran ternak, sudah lebih dari tiga tahun menggeluti paralayang. Ia adalah salah satu siswa yang mendapat kesempatan belajar paralayang secara gratis dari instrukturnya, Capung Indrawan. Di tengah keterbatasannya, kemampuan terbangnya tidak kalah dengan pilot lain.

Bagi sebagian pilot yang memiliki lisensi tandem, saat musim terbang di Parangtritis bukanlah sekadar momen untuk menyalurkan hobi dan kerinduannya terhadap paralayang, melainkan peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dalam tiga tahun terakhir, jasa terbang tandem di Parangtritis mulai dikelola sebagai tujuan wisata baru di Yogyakarta. Dengan tarif Rp 350.000 per orang untuk satu kali terbang sekitar 15-20 menit, Agus, Alexander, Teguh, dan Yudi siap mengajak pengunjung untuk menikmati sensasi terbang di atas Parangtritis.

Terlepas dari semua itu, kegiatan olahraga yang sangat bergantung pada alam tersebut mengajarkan arti kesabaran. Ada kalanya pilot harus menunggu cuaca baik dan angin yang tepat berjam-jam lamanya. Tak jarang pula harus membatalkan terbang meski parasut sudah terbentang. (Lucky Pransiska)

Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas, Minggu, 15 Maret 2015

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com