Tambahan lagi, perjalanan dilakukan pada malam hari. Jalur Pototano-Dompu memang minim lampu penerangan. Perjalanan darat menuju Dompu pada Kamis (19/3/2015), itu cukup menguras energi para anggota tim ekspedisi. Kami sempat menginap di sebuah penginapan sederhana saat di perjalanan. Setelah beristirahat ala kadarnya, pagi-pagi tim bersiap untuk meninggalkan Dompu.
Untuk naik ke Gunung Tambora, kami memang perlu melewati Kabupaten Dompu terlebih dahulu. Dompu didominasi dengan daerah yang bergelombang dan perbukitan. Begitu mobil memasuki kawasan persawahan di Jalan Sumbawa-Bima, tanaman padi menguning dengan latar perbukitan.
Siang itu matahari tepat berada di atas kepala. Meninggalkan lahan sawah nan luas, kini lanskap berganti dengan ladang jagung yang merambah hingga atas bukit. Kesan kering tanpa ada pohon-pohon yang tumbuh di perbukitan tampak di perjalanan.
“Di Dompu ini banyak ladang jagung. Nusa Tenggara Barat dikenal dengan penghasil jagung terbesar di Indonesia,” tutur Fikria Hidayat, salah satu anggota tim ekspedisi sambil asyik menjelaskan.
Selepas perkebunan jagung nan luas di perbukitan Jalan Sumbawa-Bima, jalur penyusuran menuju Desa Doropeti, kaki Gunung Tambora berpindah di tepi pantai. Jalur Sumbawa-Bima berganti menjadi Dompu-Calabai. Mobil tumpangan tim ekspedisi meliuk-liuk mengikuti kontur jalan.
“Kita makan di pinggir Oi Hodo ya. Sebentar lagi sampai,” ucap Fikria.
Begitu ada kerbau-kerbau yang berkubang di pinggir pantai dan kambing-kambing yang berlalu lalang, sontak ia langsung menunjuk sebuah tempat makan di pinggir pantai. Pantai Oi Hodo merupakan pantai yang terletak di tengah perjalanan menuju Desa Doropeti.
Lokasinya ada di Desa Oi Hodo, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Di pinggir pantai, kumpulan kerbau dan sapi terlihat sedang berendam di aliran mata air tawa Oi Hodo. Aliran air tawar keluar dari sela-sela batu-batu yang berada di pinggir jalan.
Perut kenyang, penyusuran tepi pantai kembali berlanjut. Masih berada di Kecamatan Kempo, mobil berwarna jingga ini kembali memasuki perkampungan dengan jalan kecil di tengahnya.
Perjalanan agak tersendat karena jalan yang sedang diperbaiki. Tampak para pekerja sedang memperbaiki gorong-gorong. Hampir sejauh dua kilometer jalan sedang diperbaiki ketika tim ekspedisi melewati Kecamatan Kempo menuju Kecamatan Pekat.
Rambu-rambu lalu lintas bergambar hewan pertanda peringatan terpancang di beberapa pinggir jalan. Menurut Fikria yang sudah pernah melewati jalan ini beberapa tahun lalu, ketika sore hewan-hewan yang ada di padang sabana akan berjalan di pinggir bahkan di tengah jalan. Sehingga para pengendara mesti waspada ketika berkendara.
“Wah, seperti di Afrika. Itu Tambora ya?” tanya Sasa, salah satu anggota tim ekspedisi sambil menunjuk arah utara jalan.
Saat memasuki Desa Ndoro Ncanga, tim memang disambut dengan hamparan padang rumput yang luas. Padang sabana tampak di pelupuk mata. Begitu hijau karena rumput tumbuh subur saat musim penghujan. Kami sejenak meminggirkan mobil untuk kembali mendokumentasikan “Afrika” di tanah Sumbawa ini.
Senja terus bergerak ke arah barat. Ia mulai meninggalkan singgasananya. Tertutup awan hitam, langit menurunkan butir-butir hujan meneduhkan suasana panas yang sedari tadi menghajar di perjalanan. Aroma pertemuan antara air hujan dengan tanah cukup membuat terapi bagi hidung. Namun aroma segera hilang karena hujan turun semakin deras. Kami segera masuk ke mobil dan berlalu meninggalkan titik awal pendakian esok hari di Pos Satu Ndoro Ncanga menuju Desa Doropeti. (bersambung)
Ikuti kisah perjalanan "Ekspedisi Alam Liar'' dari tim Kompas.com saat menjelajahi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat pada 18-25 Maret 2015 dalam liputan khusus "Ekspedisi Alam Liar".