Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edelweis dan Jejak Widjajono, Pendakian Menuju Kaldera

Kompas.com - 06/04/2015, 16:00 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com — Sang surya pelan-pelan mengintip dari balik puncak Gunung Tambora. Kabut-kabut tipis masih menyelimuti bukit-bukit di belakang sebuah saung di Pos 3 yang menjadi tempat peraduan tim "Ekspedisi Alam Liar" dari Kompas.com. Minggu (22/3/2015), tim dibagi menjadi dua, yaitu tim satu yang menuju bibir kaldera Tambora dan tim dua yang akan menuju Pulau Satonda.

“Kami berangkat. Hati-hati kalian turunnya,” kata Kristianto Purnomo, fotografer Kompas.com yang tergabung dalam ekspedisi, saat berpisah dengan tim dua. Saya bersama Kristianto segera beranjak menuju bibir kaldera. Bukan sembarang kaldera yang akan kami sambangi, karena tepat dua abad lalu letusan mahadahsyat dari gunung itu telah mengguncang dunia.

Ditemani tiga orang porter, kami mulai meninggalkan saung tepat pukul 10.00 Wita. Seperti pada umumnya mendaki gunung, jalur yang dilewati adalah punggung bukit. Jajaran punggung bukit-bukit tersusun rapi di pandangan kami.

Karakteristik vegetasi Gunung Tambora yang minim pohon cukup menyulitkan pendakian. Hanya ada pepohonan edelweis yang menghibur selama perjalanan. Sementara panas matahari langsung terpapar menusuk kulit kepala. Bayang-bayang dehidrasi selalu mengincar.

Setiap kaki melangkah, khayalan tentang sejarah letusan gunung yang menewaskan ribuan orang, melenyapkan tiga kerajaan, dan membuat dunia bagian utara tak bertemu musim panas selama setahun. Sebentar lagi, perut Tambora akan menyapa lima orang yang mencoba menemuinya siang itu.

“Ya, kira-kira tiga jam dengan jalan santai sampai (bibir kaldera). Patokannya pohon cemara nanti,” kata Anton, porter yang menemani kami sambil tersenyum.

Lepas dari Pos 3, pemberhentian selanjutnya adalah bibir kaldera. Namun, sebelum mencapainya, tempat beristirahat yang tersedia adalah di bawah pohon cemara. Kami berhasil mencapainya dalam waktu 30 menit setelah dihajar oleh tanjakan curam yang terbentuk akibat aliran lava.

Walaupun perjalanan menuju puncak kembali tertutup kabut-kabut tipis, peluh-peluh tetap bercucuran. Anton dan para porter melepaskan ransel yang terbelit di pundaknya. “Istirahat saja dulu. Makan siang,” katanya.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Bunga Edelweis tumbuh di sepanjang perjalanan menuju bibir kaldera Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/3/2015). Bunga Edelweis merupakan tumbuhan endemik zona alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi.

Di bawah pohon cemara, lelah segera menguap. Sebenarnya target kami adalah berhasil mencapai bibir kaldera sebelum senja datang. Logistik berupa roti selai, cokelat, dan susu segera meluncur cepat menuju usus. Energi yang terkuras segera terganti dan kami kembali menapaki bebatuan dengan variasi ukuran yang sedari tadi menjadi pijakan. “Yuk, pelan-pelan,” ujar Kristianto sambil mengalungkan kamera.

Terhitung sejak beristirahat di Cemara Satu, sebutan checkpoint oleh para porter Tambora, jalur telah berganti sebanyak dua punggung bukit. Satu demi satu punggung bukit, tim berusaha lewati dengan berhati-hati. Ketika berpindah punggung bukit, rasa penasaran kerap muncul.

“Ini masih pindah lagi, Mas?” tanya Kristianto kepada porter.

Mendaki dengan model naik dan turun bukit ini membuat dengkul bergetar. Namun, semangat untuk menjejak di puncak tak akan pudar. Jejak-jejak letusan gunung yang melegenda di dunia ini menyisakan pedih yang mendalam. Sekitar 91.000 orang menjadi korban letusan gunung api Tambora. Sementara petaka yang diakibatkan letusan Tambora terus menyebar, menjadi teror hingga ke negeri jauh.

Jejak Widjajono

Kami tak sabar untuk menyapa bibir Tambora. Perjalanan masih menyisakan satu jam pendakian. Kami segera menjejak. Setelah 9 kali berpindah punggung bukit, sang porter mengatakan bahwa puncak Tambora telah dekat. Batu-batu apung berjajar tak beraturan menyambut.

“Itu tempat Pak Wamen meninggal. Tinggal 50 meter lagi,” ujar Anton.

Pak Wamen yang ia maksud adalah Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kami pun sejenak berhenti untuk mengenang dan mendoakan beliau.

Angin berembus pelan mengurai rambut. Sepanjang 50 meter mendaki leher gunung, hari makin terik. Kerikil-kerikil berhasil membuat tergelincir. “Sedikit lagi,” ucap Anton.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul 13.30 Wita. Tim ekspedisi berhasil mencapai bibir kaldera yang berdiameter hampir 7 kilometer ini. Kawah besar menganga di depan kami. Bendera kebanggaan Indonesia berkibar melengkapi keberhasilan kami. Di arah sebelah timur, Puncak Doro Ncanga membujur kaku. (bersambung)

Ikuti kisah perjalanan "Ekspedisi Alam Liar'' dari tim Kompas.com saat menjelajahi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat pada 18-25 Maret 2015 dalam liputan khusus "Ekspedisi Alam Liar".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com