Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sendiri Menggeluti Identitas

Kompas.com - 16/04/2015, 17:16 WIB
DUA hari sebelum kami datang, sejumlah warga ternyata sudah bekerja keras menata batu-batu cadas bekas Benteng Lamatagara, Kerajaan Sanggar Kuna, di bukit karang Semenanjung Sanggar. Bekas benteng kuno tersebut rupanya menjadi bagian pergulatan pencarian jati diri anak-anak muda Sanggar....

Kami semua masih jomblo, Pak. Kegiatan seperti ini menyenangkan sekali. Kami bahkan meminta kalau bisa diajari bikin film dan menulis reportase,” kata Indra Kusuma, lulusan Amikom Mataram, Nusa Tenggara Barat, bersemangat. Indra bersama Harmoko (24), Herman (24), dan Lalu Agung (25) jadi pemandu kami untuk melihat situs Benteng Lamatagara yang disebut-sebut bekas kerajaan Hindu lama.

Tahun lalu, saat kami datang pada musim kemarau, tanjung karang itu gundul sehingga garis dinding benteng kuno bisa terlihat dari jauh dari Pantai Kaniki, Desa Boro, misalnya. Namun, saat musim hujan pertengahan Maret 2015, praktis pegunungan itu seluruhnya tertutup ladang jagung. Angin laut membuat bukit hijau itu lembut menyenangkan hati. ”Mereka saya minta datang dan merawat sisa benteng ini supaya tahu persis sejarah nenek moyangnya,” kata As’ad (36), guru SMAN 1 Sanggar, Kabupaten Bima, NTB, sekaligus Ketua Lembaga Kearifan Lokal Indonesia (LKLI) di Kecamatan Sanggar yang menemani merawat situs-situs kuno Kerajaan Sanggar.

Merawat situs bekas Benteng Lamatagara serta mendokumentasikan foto dan sejarah benteng itu merupakan sebagian kecil saja dari kegiatan pemuda-pemudi Desa Boro dan Desa Kore yang dibina LKLI. ”Misi LKLI itu pengimbangan, pemanfaatan, dan perlindungan kebudayaan lokal Sanggar,” kata As’ad yang sejak 11 tahun lalu masih saja berstatus guru honorer pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Sejarah Lokal, dan Bahasa Kore, yaitu bahasa di kawasan Sanggar yang nyaris punah.

Selain Benteng Lamatagara, situs lain yang juga ”dirawat” anak-anak muda Sanggar adalah bekas Benteng Lainomos, situs bekas Kerajaan Sanggar Lama, serta Kuburan Besar Kerajaan Sanggar, semuanya di Desa Boro. Meski dengan dana swadaya, LKLI yang didirikan As’ad pada 2014, juga menggagas pembinaan dan pendidikan generasi muda. Perangkat Desa Kore Lama yang melihat kesungguhan LKLI pimpinan As’ad kemudian menyerahkan bekas bangunan kantor desa dan lahan seluas 500 meter persegi sebagai kantor LKLI dan pembinaan anak-anak muda. Di situlah berbagai kegiatan, seperti tari, musik, bela diri, pencinta alam, fotografi, penulisan sejarah, dan perawatan situs-situs sejarah lokal dilakukan LKLI setiap hari tanpa dana bantuan dari mana pun. ”Bapa, kami pulang dulu, nanti Bapa nonton drama kami, ya. Kami ada pentas di desa malam ini,” kata Herman.

Pukul 19.00 Wita, saat kami datang, hujan deras mengguyur seluruh desa. Halaman kantor LKLI yang sudah digelari tenda biru basah kuyup, satu-dua orang desa melihat dari pinggir jalan dengan payung di tangan. Yang mengherankan, mungkin sekitar 50 remaja dan pemuda berteduh di teritisan bangunan reyot bekas kantor desa itu dengan wajah bersemangat dengan dandanan beraneka rupa dan warna-warni. Setelah hujan reda, beberapa remaja mengambil sapu lidi dan kain mengosek air dan mengelap tenda yang digelar di tanah itu. Adapun penerangan pergelaran teater hanya mengandalkan dua neon yang dipasang di teritisan.

Dua lakon mereka pentaskan malam itu: ”Kembalilah Ibu” drama ala sinetron televisi bercerita seorang pemuda yang merantau ke luar negeri, tetapi menemukan ibunya meninggal sebagai pembantu rumah tangga di desa sendiri. Cerita kedua, kisah klasik ”Kisah Putri Daiminga”—putri cantik tiada tara dari Kerajaan Sanggar yang diperebutkan kesatria-kesatria dari berbagai negeri. Putri itu akhirnya memilih pangeran sederhana dan tidak congkak hati. Dalam versi tarian, kisah itu pernah difilmkan tahun lalu di Pantai Kaniki dengan judul Inden Dua, bahasa Kore yang artinya tiada duanya di dunia.

Pemainnya anak-anak SMAN I Sanggar yang tergabung dalam Sanggar Lawang Kuneng pimpinan Suhada. Grup Lawang Kuneng itu juga binaan LKLI.

Drama yang mengoplos dua kontras keadaan dan zaman itu, sesungguhnya amat mencengangkan. Dalam versi drama sinetronan—anak-anak desa itu fasih sekali berbahasa logat Jakarta seperti tayangan televisi, tetapi pada drama kedua, anak- anak itu hikmat berdendang dan berlagu gaya sanggar, lengkap dengan gemulai tari dan bela diri yang mereka peragakan dengan hebat. Sampai-sampai salah satu toya pemain pangeran patah berhamburan karena gempuran saat berkelahi. Sementara penonton desa yang tadi berdiri di pinggir pagar, malam itu duduk lesehan di tenda yang digelar, dan bocah-bocah sampai nenek-nenek tertawa-tawa menonton kakak atau cucu mereka merayakan dua abad meletusnya Tambora dengan sederhana, tetapi khidmat.

Semangat LKLI menggeluti identitas budaya Sanggar dan warisan Kerajaan Sanggar—satu dari tiga kerajaan yang diberitakan hilang (Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat) dalam erupsi Tambora 1815 memang luar biasa. Selasa (14/4/2015) malam, As’ad muncul di Bentara Budaya Jakarta, ikut ambil bagian dalam pameran, pergelaran, dan talkshow bertajuk ”Kuldesak Tambora” (16-26 April). Ia hadir bersama komunitas lain dari Kabupaten Bima; warga Gunung Merapi dari Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY; serta Komunitas Lima Gunung pimpinan Sutanto Mendut dari Magelang. Selain menampilkan berbagai kesenian gunung dari Tambora dan Merapi, pameran dan talkshow difokuskan pada dua sisi kajian: arkeologi dan geologi (kegunungapian), termasuk pendidikan mitigasi.

Apa yang dilakukan anak muda Sanggar di pegunungan Tambora adalah gambaran mental alamian mereka melampaui atau melompati kondisi kuldesak (jalan buntu) dari kondisi obyektif geografi Nusantara yang dikepung 400 gunung api dan 127 di antaranya gunung api aktif yang terus menghantui kita semua. Yang mencengangkan pula dari elan vital anak-anak muda asuhan As’ad ini mereka menempuhnya di jalan sunyi desa nun jauh di Tambora tanpa bantuan siapa pun. ”Kapan ke Tambora lagi. Kami punya dua jalur pendakian baru yang kami buat. Ada jalur SMA, jalur yang dibuat Siswa Pencinta Alam (SAPA) SMAN I Sanggar dan jalur Abaravi, jalur pendakian lewat Desa Piong. Kami semua yang buat itu,” kata As’ad menambahkan. Wao... ini pasti pendakian pasca kuldesak! (AHMAD ARIF/HARIADI SAPTONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com