Pembangunan kamp konsentrasi Boven Digoel, bisa juga disebut kamp interniran, berdasarkan perintah Gubernur Jenderal de Graeff. Pada 16 Maret 1927, Kapten L Th Becking bersama 120 tentara dan 60 pekerja diutus ke Boven Digoel di hulu Sungai Digoel untuk membangun kamp konsentrasi tersebut.
”Digoel boleh dikatakan sebagai kamp konsentrasi pertama yang dibuat Kaum Kolonial. Kelompok pertama yang dibawa ke sana adalah kaum pemberontak Partai Komunis Indonesia tahun 1927,” kata sejarawan Anhar Gonggong, Minggu (17/6), di Jakarta.
Kamp konsentrasi Digoel sengaja dibangun di pinggir Sungai Digoel yang dahulu masih banyak dihuni buaya-buaya buas. Letak kamp itu sekitar 500 kilometer dari muara Sungai Digoel yang berakhir di Laut Arafura.
Selain banyak dihuni buaya, kondisi alam di Boven Digoel juga sangat keras, dengan suhu udara panas, hutan lebat, dan ancaman penyakit malaria tropika yang mematikan serta beri-beri. Orang-orang yang dibuang ke kamp konsentrasi Digoel adalah orang-orang yang dianggap Belanda memiliki kekuatan pengaruh yang tinggi.
”Dengan dibuang ke Digoel yang jauh dan sangat terpelosok, tidak mungkin ada orang yang datang mengunjungi para buangan. Mereka juga tidak akan lari karena satu-satunya akses adalah Sungai Digoel yang banyak buayanya,” kata Anhar.
Tanah Tinggi
Kamp konsentrasi Digoel terdiri dari dua lokasi, pertama di Tanah Merah dan, kedua, di Tanah Tinggi. Kamp kedua dikhususkan bagi orang-orang buangan yang nonkooperatif atau sulit bekerja sama dengan pemerintah kolonial alias pembangkang. Letak kamp Tanah Tinggi berada di atas Tanah Merah, sekitar 45 kilometer di bagian hulu Sungai Digoel.
Dari sisi jumlah korban jiwa, kamp konsentrasi Auschwitz rezim Nazi lebih kejam dan tak manusiawi dibandingkan dengan pengasingan di Digoel yang masih membuka peluang bagi orang-orang buangan untuk tetap bekerja dan mendapat jatah uang bulanan dari pemerintah kolonial. Meski demikian, strategi pengasingan Pemerintah Belanda di Digoel tersebut tetap menjadi catatan hitam bagi sejarah pergerakan nasional di Indonesia.
”Pengasingan di Digoel mengingatkan kita bahwa negeri ini dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang mau menderita, seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Bondan, dan sebagainya. Mereka sebenarnya bisa hidup enak jika mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi memilih untuk dibuang dan diasingkan karena idealisme dan cita-cita memerdekakan bangsa Indonesia,” ujar Anhar.
Sekarang, Boven Digoel sudah banyak berubah, kaum transmigran dan pendatang dari Jawa, Toraja, serta Makassar berdatangan dan tinggal di sana. Meski demikian, daerah ini masih agak terisolasi karena akses perjalanan darat yang jauh dengan beberapa titik jalan yang rusak parah.
”Begitu hujan deras, kami bersiap-siap bermalam di hutan karena sungai-sungai akan meluap, menggenangi jalan, dan lubang-lubang kubangan lumpur sulit dilalui. Hanya mobil berpenggerak empat roda yang bisa melintas di kubangan lumpur yang dalam,” kata Guntur, warga Merauke yang bekerja di Boven Digoel.
Sementara itu akses transportasi udara hanya bisa ditempuh dengan pesawat-pesawat kecil bermuatan tujuh penumpang yang hanya melintas beberapa kali dalam seminggu. Begitu juga, akses lewat Sungai Digoel membutuhkan waktu berhari-hari karena jarak dari muara ke hulu Digoel mencapai lebih dari 500 kilometer. (Aloysius B Kurniawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.