Prosesi pengambilan air dari Tuk (mata air) Sikopyah itu mengawali pergelaran Festival Gunung Slamet (4-6 Juni 2015), yang baru pertama kali diselenggarakan di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Hajatan adat berpadu promosi wisata, sebagai ungkapan syukur pada Sang Pencipta yang melimpahi tanah dengan kesuburan.
Jumat (5/6/2015) pagi, langit biru tak berangin memayungi Desa Serang, kampung terakhir menuju jalur pendakian Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jateng (3.428 meter di atas permukaan laut/mdpl). Sebelum prosesi pengambilan air dimulai, 40 petani dengan pakaian adat Banyumasan berkumpul di halaman masjid Dusun Kaliurip, Serang. Kaum perempuan mengenakan kain warna hijau, sedangkan kaum pria memakai busana serba hitam dengan ikat kepala.
Petani perempuan tampak membawa sesaji berisi beragam hasil bumi, seperti padi, jagung, dan singkong, di dalam bakul. Dibawa pula hasil bumi khas desa di lereng timur Gunung Slamet itu, berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, di antaranya kol, selada, tomat, cabai, hingga buah stroberi.
Kaum pria membawa lodong, bumbung bambu sepanjang 2 meter dengan ujung dibuat agak runcing untuk wadah penampung air. Sebagian lain membawa kokok, semacam lodong berukuran lebih kecil.
Saat tiba di depan masjid, pemimpin rombongan sejenak bersimpuh di depan sesepuh. Restu diminta mengambil air dari Tuk Sikopyah demi kesejahteraan petani. Selanjutnya, petani diantar sesepuh menyusuri jalan setapak, melintasi perkebunan dan hutan, menuju mata air berjarak sekitar 2 kilometer dari masjid. Gema salawat dan tetabuhan rebana masih menggema mengiringi.
Prosesi pengambilan air diawali dan diakhiri doa, dipimpin sesepuh. Setelah itu, rombongan kembali berjalan menuju Balai Desa Serang untuk menyemayamkan bilah-bilah bambu berisi air. Air itu akan dibagikan kepada petani guna disiramkan ke lahan mereka.