Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ngikis" di Bojong Galuh Karangkamulyan

Kompas.com - 18/08/2015, 11:43 WIB
SEBUAH ritual adat sering dianggap ”kolot” karena masih mempertahankan tradisi zaman baheula. Namun, tradisi ngikis dan mager yang digelar di situs peninggalan Kerajaan Sunda Galuh Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, justru aktual dalam konteks kekinian karena menjunjung tinggi kejujuran.

Sambil komat-kamit, Bah Otoy (62) berlari-lari mengikuti pergerakan anak buahnya yang menarikan kuda lumping di halaman depan Situs Karangkamulyan. Konsentrasinya sudah tidak terarah, seperti kesurupan. Sorot matanya terlihat liar seraya memandang ke sana kemari. Dan heup…! Bah Otoy memotong pergerakannya.

Lalu keduanya berhadapan seraya pasang kuda-kuda seakan siap bertarung. Penonton pun tegang. Tak lama, tepukan riuh penonton yang mengelilingi altar Gong Perdamaian Karangkamulyan bergemuruh saat keduanya saling berpaling dan melanjutkan tariannya mengikuti musik pencak silat di atas panggung.

Itulah sekilas pergelaran seni tradisional yang digelar di situs Karangkamulyan, 20 kilometer timur Ciamis, pada pertengahan Juni 2015. Pemerintah Kabupaten Ciamis memanfaatkan keramaian munggahan (tradisi makan-makan pada siang hari sebelum bulan Puasa) dengan memperkuat tradisi ritual ngikis di obyek wisata Karangkamulyan.

”Sebenarnya tradisi ngikis biasa dilaksanakan Senin atau Kamis terakhir menjelang bulan puasa. Namun, kali ini digelar bersamaan dengan pertunjukan kesenian tradisional dari seluruh Jawa Barat,” ujar Ketua Panitia ngikis Karangkamulyan, Sodikin (45).

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Ciamis Yusuf SA menyatakan, atraksi wisata tradisional itu diserahkan kepada pemangku adat setempat. Pemerintah daerah hanya memfasilitasi agar masyarakat aktif sehingga memunculkan perguliran ekonomi lokal.

Setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Ciamis dan Pangandaran, dua tahun lalu, Ciamis sebagai kabupaten induk kehilangan 80 persen pendapatan asli daerah (PAD) atau Rp 5 miliar-Rp 6 miliar dari pariwisata. ”Kami tidak bisa lagi mengandalkan wisata alam, tetapi ekonomi kreatif yang sebetulnya telah tumbuh di masyarakat. Perkuatan tradisi ngikis ini adalah salah satunya,” kata Yusuf SA.

Jujur dan rendah hati

Tradisi tahunan ngikis diisi dengan memagar bagian dalam situs yang dianggap salah satu tempat suci Keraraan Sunda Galuh sekitar abad ke-7 hingga ke-9. Ngikis, menurut Sodikin, dimaksudkan untuk mengikis perilaku buruk yang ada dalam diri manusia, khususnya warga keturunan Sunda Galuh.

Ritual mager disimbolkan untuk memagar diri dari pengaruh-pengaruh buruk. Secara khusus tradisi itu dimaksudkan untuk melindungi keturunan Galuh dari pengaruh luar yang secara luas bisa merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain mengajarkan perilaku rendah hati atau tak boleh sombong, karuhun (leluhur) Galuh mengajarkan keturunannya agar bersikap jujur, terutama bagi mereka yang duduk di pemerintahan.

Karuhun Galuh melarang keras keturunannya melakukan kebohongan atau hal-hal yang tidak jujur, yang dalam bahasa sekarang lazim disebut KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Intinya, apabila mengaku keturunan Galuh harus berperilaku jujur, dapat dipercaya, dan tidak boleh korupsi. Jika melanggar titah karuhun, hidupnya bakal celaka.

”Ketika masuk Karangkamulyan, siapa pun tidak boleh bicara sompral (sombong) dan harus menghormati petilasan-petilasan yang ada di sini,” ujar Saripin, Juru Pelihara Karangkamulyan. Suatu ketika, Saripin bercerita, ada pengunjung yang bicara sompral. Sepulangnya dari Karangkamulyan, tiba-tiba ia menjadi linglung dan kehilangan orientasi.

Situs Karangkamulyan, seperti ditulis Djadja Sukardja S, dalam bukunya (1977), akrab disebut Bojong Galuh Karangkamulyan. Kawasan ini merupakan hutan lindung seluas 25 hektar di pinggir Sungai Citanduy-Cimuntur yang mengandung berbagai kisah terkait kerajaan pada zaman dahulu. Di hutan ini masih terdapat hewan lutung dan ratusan kera ekor panjang serta elang jawa.

Masyarakat Ciamis menganggap kawasan ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh yang diperintah Permanadikusumah dan putranya, Ciung Wanara, abad ke-8. Dari sana munculah cerita rakyat turun-temurun seraya dibumbui hal-hal luar biasa, seperti kesaktian dan keperkasaan raja-raja Galuh yang tidak dimiliki oleh orang biasa.

Peninggalan purbakala

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com