Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/08/2015, 19:50 WIB


Catatan Kaki Jodhi Yudono

Kopi, ya kopi.. minuman berwarna hitam itu kini kian populer bahkan di kalangan anak-anak muda, tak laki tak perempuan. Lihatlah di sudut-sudut kota besa macam Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lainnya, warung kopi atau kafe yang menyajikan kopi sebagai minuman utama, kian menjamur.

Saya sendiri, semenjak pulang dari Aceh akhir November tahun lalu, hari-hari saya dengan indah diisi oleh seruputan kopi gayo yang nikmat itu. Setidaknya empat cangkir kopi saya tenggak tiap harinya, pada pagi, siang, sore, dan malam hari.

Gayo, ya hanya kopi gayo yang saya minum saban harinya. Alasan pertama, karena perbendaharaan minum kopi saya memang masih minim, hanya kopi gayo lah yang saya kenal dan saya punya. Sementara kopi-kopi lainnya hanya numpang lewat saja jika saya pergi ke warung kopi atau kafe. Pernah saya minum kopi toraja, bajawa kopi, kopi papua, kopi pagaralam, kopi bali, kopi sidikalang, dan beberapa lainnya.

Entah karena terprovokasi oleh penyair Fikar W Eda yang asal Aceh, atau teryakinkan oleh seorang peneliti kopi dan coklat asal Jember bernama Yusianto, atau tersugesti oleh promosi Ikra yang pemilik kilang kopi tertua di Takengon bernama Aman Kuba, akhirnya--untuk sementara ini--saya memutuskan untuk hanya menikmati kopi arabica gayo.

Kopi ya kopi, kenikmatannya memang setara dengan "mitos" yang diembuskan oleh para pemujanya. Mulai dari 'mengekalkan' persahabatan hingga bisa mencegah diabetes dan sakit jantung.

Entahlah, tiap kali minum kopi, kenangan saya selalu melayang ke silam kelam. Saya jadi ingat rinai hujan, goreng pisang kapok, dan kawan saya yang bernama JUha dan isterinya, Kokom. Ya, kopi, selalu menyempurnakan senja Juha.

Kepada saya dia pernah bercerita panjang lebar perihal kopi, tentang senja, dan tentu saja mengenai si Kokom isterinya nan jelita.

Kebiasaan Juha meminum kopi sama seperti almarhum Mbah Surip dan beberapa seniman lainnya, yakni minum kopi pahit tanpa campuran apa pun. Yang membedakan Juha dengan saya dalam minum kopi, barangkali karena Juha selalu menyimpan kopi yang langsung dipetik dari kebun setelah matang total. Ah, bunda, kenang Juha pada ibunya nun jauh di Bandung Utara. Dan kopi pahit yang disruputnya itu, selalu mengingatkan Juha pada sang ibu.

Dulu, ketika ayah Juha masih hidup, biasa sang ibu menyajikan kopi dalam keadaan segar, baru disangrai dari tempat pemanggangan yang terbuat dari tanah liat. Kemudian, ditumbuknya kopi itu di dalam lumpang hingga halus. Selanjutnya, kopi itu dimasukkan ke cerek berisi air mendidih. Ketika air mulai bergolak kembali, ibu biasanya membubuhinya dengan gardamun untuk menambah rasa pahitnya.

Ibu bilang, ilmu perkopiannya itu ia dapatkan dari sebuah buku karya Muhammad Asad berjudul "Jalan ke MAKKAH" yang bercerita tentang kopi sebagai bagian dari kultur bangsa Arab, lengkap dengan filosofinya. Kopi, kata bunda mengutip buku itu, agar terasa lezat cita rasanya, haruslah "pahit bagaikan maut dan hangat seperti cinta".

Oho, sebuah ujar-ujar yang bikin kalbu bergetar. Benarkah maut berasa pahit? Benarkah cinta berasa hangat? Untuk kalimat terakhir, Juha mungkin setuju. Karena bukankah setelah mengenal Kokom, hari-harinya senantiasa hangat dipenuhi cinta? Tapi maut? Ah, sayangnya pengembara yang pergi dengan maut tak pernah balik untuk menceritakan rasanya berjumpa dengan maut. Tapi demi menggembirakan hati ibu, ia anggukan kepala ketika ibu ungkapkan ujar-ujar itu, dulu.

Kini, di hadapannya juga ada kopi pahit yang masih hangat, sehangat cinta Kokom yang telah mendampingi hidupnya sepanjang sepuluh tahun. Karena kehangatan cinta Kokom itulah, Juha tak peduli benar kendati belum beroleh anak. Barangkali Tuhan masih memberikan waktu yang lebih panjang agar Juha bisa menikmati kehangatan cinta Kokom tanpa rengekan anak.

"Andai saja ya Bang..." tiba-tiba Kokom bersuara.
Juha tak langsung menjawab. Dipandanginya wajah Kokom dengan mata penuh pertanyaan.
"Andai saja ada anak kecil di tengah kita.."

Disruputnya lagi kehangatan kopi pahit itu. Juha tak tahu persis, sejak kapan ia jadi pecandu kopi. Bergelas-gelas kopi dihirupnya tiap ada waktu luang, sampai-sampai Juha sedikit faham tentang hal ikhwal kopi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com