Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dawai-dawai Perahu Perebut Hati

Kompas.com - 17/09/2015, 14:49 WIB
TUMBUH sebagai tuturan lisan dalam keseharian rakyat, tradisi ”kacaping” melintasi batas perbedaan bahasa dan identitas kultural. Kecapi, instrumen dawai itu, masih berjejak di empat entitas budaya di Sulawesi bagian Selatan dan Barat dengan kekhasannya masing-masing.

Tubuh nenek Satuni yang bersila itu semakin samar oleh kecapi besar di pangkuannya. Kepala kecapi yang berukir indah itu bahkan menjulang di atas kepala Kindoq (sebutan bagi perempuan tua) Satuni. Namun, ratusan penonton di Benteng Rotterdam, Makassar, lekat menatapnya, terpesona oleh nyanyian lantang Kindoq Satuni, penutur kecapi dari Polewali Mandar.

Nyanyiannya terdengar serak, getar suaranya menunjukkan usia Kindoq Satuni. Namun, energi yang ada dalam setiap lantunannya sungguh terasa. Mak Satuni seperti dilingkupi gairah mudanya 70 tahun silam ketika ia dibawa Raja Balanipa, Andi Depu, ke Makassar. Di benteng yang sama, gadis Satuni memainkan kecapi di depan pembesar tentara Jepang yang menduduki Makassar pada Perang Dunia II.

Petikan kecapinya cepat dan tegas. Ia memetik dua senar kecapi yang memainkan irama berulang, mengiringi lantunan syair berbahasa Mandar. ”Itu lantunan sukacita saya, mengenang pengalaman saya memainkan kecapi di benteng ini. Syair lainnya pujian dan ungkapan terima kasih saya kepada semua yang hadir malam ini,” kata Kindoq Satuni yang hanya tahu satu-dua patah kata bahasa Indonesia itu.

Jika sinrili’ lekat dengan tradisi tutur kekuasaan karena naskah sinrili’ umumnya menuturkan riwayat tokoh atau peristiwa sejarah Kerajaan Gowa, kecapi lekat dengan tradisi tutur rakyat. Tradisi bertutur kecapi, instrumen dua dawai dengan ruang resonansi berbentuk perahu itu dikenal baik entitas budaya Makassar (kacaping), Bugis dan Mandar (kacapi), serta Toraja (katapi).

Sebagai tradisi tutur rakyat kebanyakan, kecapi biasa melantunkan syair yang spontan, kerap kali merespons situasi yang terjadi di hadapan pemainnya. Dimainkan di waktu senggang atau dalam hajatan kaum kebanyakan, syairnya bisa berupa lelucon, sindiran, atau rayuan terhadap gadis yang menonton, misalnya. Bahkan, pemain kecapi yang nakal biasa membuat lelucon porno (R Anderson Sutton, CallingBack The Spirit, 2002).

Dalif, penggagas Komunitas Budaya Sossorang, di Mandar, menyebut kecapi yang dikenal oleh berbagai entitas budaya di Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) punya kekhasan masing-masing. Permainan Kindoq Satuni pada malam pembukaan Makassar International Writers Festival 2015, misalnya, adalah tradisi tutur kacapi khas Mandar, dengan pemain kacapi perempuan (biasa disebut pakacapi baine) yang kini semakin langka.

”Kindoq Satuni memainkan kacapi khas Mandar, yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan kacapi lain di Sulawesi Selatan, tetapi hanya punya 4 atau 5 grip nada. Kecapi Mandar juga dikenal karena kepala kecapinya berukir indah. Selain itu, tradisi kecapi Mandar mengenal tiga syair—tollo’ atau cerita kepahlawanan, tedze (puji-pujian), dan Masyaallah (nyanyian keagamaan),” ujar Dalif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com