Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menapaki Menteng Masa Lalu

Kompas.com - 20/10/2015, 14:24 WIB
Jonathan Adrian

Penulis

KOMPAS.com — Ada banyak nama daerah di Jakarta yang memiliki asal usul tersendiri. Kampung Melayu, misalnya, merujuk pada wilayah yang dulunya dipenuhi orang-orang Melayu. Nama China Town juga menggunakan prinsip yang sama. Lalu ada nama Rawa Bangke yang dulunya terdapat banyak "bangkai" manusia. Maka dari itu, nama Menteng pun punya cerita.

Kawasan elite di Jakarta ini disebut Menteng karena banyak pohon menteng (Baccaurea racemosa) yang tumbuh di sini. Awalnya, tempat ini merupakan hutan.

Pada saat Belanda datang ke Jayakarta (Jakarta), mereka membumihanguskan bagian utara dan mengubahnya jadi Batavia. Namun, kondisi Batavia pasca-pembumihangusan tak begitu baik. Banyak penyakit menular, dan lingkungan kotor. Maka dari itu, orang-orang mulai mencari wilayah baru di selatan.

"Tempat di selatan ini dulu disebutnya Weltevreden," kata seorang pemandu dari Jakarta Good Guide, Candha, sambil memandu belasan orang berkeliling Menteng dalam program Menteng Walking Tour, di Taman Suropati, Jakarta, Minggu (18/10/2015).

Weltevreden artinya tempat yang tenang dan memuaskan. Tempat itu disebut demikian karena damai dan sejuk. Saat itu, wilayah Weltevreden terbentang dari Harmoni hingga Pasar Senen. Weltevreden jadi bagian dari Batavia juga, dan menjadi pusat ekonomi yang maju.

"Jadi sister city Batavia. Kalau di Amerika, ini seperti New York-nyalah," kata Candha.

Tahun 1910, sebuah proyek pembangunan dibuat untuk kompleks rumah tinggal karyawan Hindia-Belanda. Proyek ini bernama Nieuw Gondangdia, di lahan seluas 73 hektar, termasuk wilayah Taman Suropati yang ada sekarang ini.

Pada tahun yang sama juga, wilayah Niew Gondangdia ini dijadikan sebagai kota taman. Mengapa taman? Tempat ini menjadi kawasan hunian. Penghuninya perlu suasana yang damai, weltevreden. Karena itu, jadilah tempat ini sebagai city park pertama di Batavia.

Melalui kompleks ini, pemerintah Hindia-Belanda saat itu ingin meninggalkan jejak budaya dan seninya lewat berbagai arsitektur bangunan art deco. Kita dapat melihat beberapa peninggalannya dalam bentuk bangunan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Paulus, Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan beberapa bangunan lain. Seni juga diperkenalkan lewat kunstkring, yang berarti pusat kesenian Belanda.

"Dulu pintu masuk Niew Gondangdia ada di wilayah kunstkring itu. Dulunya itu pusat seni," ujar Candha.

Melalui gambaran singkat soal Menteng masa silam, Candha mengajak pengunjung untuk mengawali langkahnya. Oleh karenanya, dimulailah perjalanan menapaki Menteng masa lalu.

Candha adalah satu dari lima pemandu yang tergabung dalam Jakarta Good Guide, sebuah perkumpulan yang ingin memperkenalkan "sisi historis" Jakarta kepada masyarakatnya. Jakarta Good Guide dibentuk pada tahun 2014 oleh Farid dan Candha. Anggotanya merupakan pemandu wisata yang disertifikasi.

Tidak dipungut bayaran

Candha bersama empat rekannya membuat lima paket Walking Tour atau tur jalan kaki di Jakarta, yakni Pusat Kota yang terdiri dari wilayah Monas dan sekitarnya, Menteng, China Town, Kota Tua, serta Pasar Baru.

Menteng Walking Tour pada Minggu (18/10/2015) kemarin menjadi Walking Tour ketiga yang sudah dibuka setelah sebelumnya ada Kota Tua Walking Tour dan Pasar Baru Walking Tour. Masing-masing berdurasi 2-3 jam, tergantung jarak. Berangkat pukul 09.00 pagi, dan berakhir paling lambat pukul 12.00 siang.

Candha dan keempat rekannya tidak memasang tarif untuk programnya. Mereka menyebutnya dengan istilah "pay as you wish" atau bayar semaunya. Bahkan untuk program Menteng Walking Tour ini, posternya menuliskan "free, donation welcome" alias gratis, tetapi jika ingin memberi donasi, maka dipersilakan.

Dalam Menteng Walking Tour, peserta dibagi dalam empat kelompok dan mulai berjalan kaki berkeliling Menteng. Panjang rute yang ditempuh sekitar lima kilometer. Peserta mendapat berbagai penjelasan dan kisah seputar Menteng masa lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com