Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Fatuleu, Obyek Wisata dan Penanda Petani

Kompas.com - 03/11/2015, 14:37 WIB
GUNUNG Fatuleu di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya obyek wisata yang mengandalkan keunikan disertai aura magis.

Gunung yang hampir seluruhnya terbentuk dari bongkahan batu hitam, hingga tampak angkuh dan garang, juga menyimpan peran, yakni sebagai pemandu tahapan kegiatan bertani masyarakat sekitar.

Termasuk dalam wilayah Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu Tengah, Gunung Fatuleu terletak sekitar 40 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Kupang di Oelamasi, atau kurang lebih 70 kilometer sebelah timur Kota Kupang.

Pada hari Minggu atau hari libur lain, kawasan Gunung Fatuleu ramai dikunjungi.

Sebagian pengunjung ada yang secara diam-diam ingin merasakan aura magis atau susuk yang terpancar dari gunung setinggi 1.111 meter di atas permukaan laut itu. Ada pula kelompok remaja berlatih olahraga panjat tebing di gunung itu.

Gencarnya pilihan berwisata ke lokasi itu erat kaitannya dengan ketersediaan infrastruktur jalan sejak setahun lalu.

Jalan beraspal mulus yang tersambung mulai titik persimpangan Lintas Timor di Lili, Kecamatan Fatuleu, adalah bagian dari Poros Tengah, yang nantinya membuka isolasi kawasan hingga menyentuh perbatasan Oekusi, Timor Leste.

Panjang jalan poros tengah 159,2 kilometer. Hingga pertengahan Oktober 2015, bagian jalan yang sudah beraspal mulus mulai dari Lili hingga Kampung Kofi di Oelbitneno sepanjang 20 kilometer, atau sekitar tiga kilometer setelah Gunung Fatuleu.

Oleh karena itu, pilihan melancong ke Gunung Fatuleu dipastikan nyaman meskipun masih ada sedikit gangguan di Lili.

Kendaraan yang melintas untuk sementara waktu masih harus menerobos alur sungai di Lili karena jembatan sedang dibangun.

Mobilitas warga saat ini mengandalkan kendaraan bak terbuka yang dimodifikasi menjadi angkutan pedesaan.

Bupati Kupang Ayub Titu Eki, Juni lalu, telah meresmikan kawasan Gunung Fatuleu sebagai salah satu obyek wisata di daerahnya. Peresmiannya didahului ritual adat yang disebut feset, dengan hewan kurban berupa seekor babi.

Ritual yang bermakna menyambut para tamu pelancong digelar di depan mulut Goa Nualeu, salah satu titik sakral sekitar kaki Gunung Fatuleu.

Masih di sekitar kaki gunung yang sama di titik lainnya tersedia sejumlah pondok peneduh bagi para pengunjung.

Warga Kampung Sublele, Desa Nunsaen, Marthen Kake (19), yang beberapa kali berperan sebagai pemandu tamu Gunung Fatuleu, menyebutkan, jika pengunjungnya sekelompok remaja hampir dipastikan ada pemanduan untuk kegiatan memanjat tebing.

Ada pula pemanduan bagi tamu yang khusus mengunjungi Goa Nualeu dan juga mesbah di sekitarnya.

”Kelompok tamu yang membutuhkan pemanduan itu hanya untuk mereka yang berniat mengunjungi Goa Nualeu atau panjat tebing. Kelompok pengunjung yang menyaksikan Gunung Fatuleu dari areal pondok peneduh tidak butuh pemandu,” tambah Rise Manbait (21), rekan Marthen Kake.

Selain berhawa sejuk, berbagai kisah beraroma mistis juga ikut mendongkrak daya tarik Gunung Fatuleu sebagai obyek wisata. Konon, berbagai bencana atau peristiwa selalu didahului tanda khusus di Gunung Fatuleu.

Sejumlah contoh di antaranya terkait Gerakan 30 September 1965, berpulangnya mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto, Ibu Tien Soeharto, mantan Presiden Gus Dur, gempa dan tsunami Flores, tsunami Aceh, dan banyak lagi.

”Semuanya didahului longsoran batu dari dinding atau puncak Gunung Fatuleu,” kisah tetua Marthen Suan (53).

Berperan ganda

Gunung Fatuleu sesungguhnya berperan ganda. Selain obyek wisata berdaya tarik tinggi, juga merupakan penanda bagi petani di sekitarnya. Jika masih berpemandangan cerah, pertanda hujan musim masih jauh.

Sebaliknya kalau kabut mulai mampir dan bertengger di puncak atau sekitar dinding gunung, itu isyarat hujan musim segera tiba.

Seperti diakui sejumlah tetua, isyarat itu dibutuhkan para petani untuk mengatur waktu tanam ladangnya secara tepat.

Kawasan luas di sekitar Gunung Fatuleu merupakan wilayah empat kecamatan. Selain Fatuleu Tengah, tiga kecamatan lain adalah Fatuleu, Fatuleu Barat, dan Takari. Warga empat kecamatan itu umumnya petani lahan kering dan peternak sapi.

Sejumlah petani di kawasan itu, Jumat (30/10/2015), mengakui ladang mereka sebenarnya sudah siap ditanami benih jagung, padi, dan kacang tanah.

Meskipun waktunya sudah tiba, mereka belum berani melakukan tahapan kegiatan itu karena kabut belum kunjung datang dan menyelimuti atau bertengger sekitar puncak Gunung Fatuleu.

Para petani itu di antaranya Gerson Bait (61) dan Marthen Tafuakan (69). Keduanya warga Kampung Naifalo, Desa Nunsaen; dan Kampung Kofi, Desa Oelbitneno. Kedua desa itu terletak di Kecamatan Fatuleu Tengah. Lainnya, Nikolaus Utan (41), warga Kampung Boni, Desa Tonaka, Kecamatan Fatuleu.

”Meskipun hujan belum turun, para petani biasanya segera menanami kebunnya dengan benih jagung, padi, dan kacangan kalau sudah menyaksikan puncak Gunung Fatuleu mulai berkabut. Kami punya kesaksian sejak turun-temurun bahwa hujan segera turun kalau gunung itu mulai berkabut,” kata Gerson Bait, tetua di kampungnya, Naifalo.

Tetua Naifalo lainnya, Marthen Tafuakan, menjelaskan, petani belum berani menanami ladang mereka selama kawasan Gunung Fatuleu tetap berpemandangan cerah.

”Kalau Fatuleu masih cerah, itu tanda hujan masih jauh,” jelas Marthen Tafuakan yang juga tokoh masyarakat Desa Oelbitneno. (Frans Sarong)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com