Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budayawan: Pariwisata Adalah Anak Kebudayaan

Kompas.com - 28/12/2015, 12:03 WIB
Kontributor Travel, Fira Abdurachman

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Seperti telur dan ayam, mana yang lebih dulu ada? Mana yang lebih penting? Budaya yang melahirkan pariwisata atau pariwisata yang mengembangkan budaya?

Pariwisata akan jalan di tempat tanpa adanya industri yang menopangnya. Pariwisata tak ubahnya sepotong kue di etalase. Rasa segurih dan selezat apapun tak akan dibeli orang bila penampilannya biasa saja.

Bayangkan kue yang rasanya sebenarnya biasa saja, hanya terbuat dari adonan tepung terigu dan mentega tetapi dibungkus rapi menarik dengan pita dan ornamen bingkisan warna warni. Dijual di kafe bergengsi. Alhasil, kuenya akan menjadi laris manis walau harganya 2 kali lipat dari harga kue biasa.

Seperti itulah dunia pariwisata. Sebuah industri yang dibungkus dengan budaya, keindahan alam, jasa servis, sampai masalah gengsi. Namun industri ini tidak akan ada tanpa adanya bungkusannya.

KOMPAS/DEDI MUHTADI Kesenian tradisional Sunda digelar pada ritual ngikis di situs dan obyek wisata Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Acara ini diselenggarakan pada masa tradisi munggahan menjelang bulan Ramadhan.
“Yang membuat pariwisata Indonesia lambat adalah kita memamerkan budaya milik orang lain," ujar Slamet Rahardjo Djarot, seorang budayawan kepada KompasTravel.

Bagi Slamet Rahardjo, melihat dunia pariwisata adalah sebuah refleksi terhadap budaya di Indonesia.

"Kalau pakaian hanya sebagai simbol seperti peragawati menjual baju-baju maka itu hanya pajangan. Sampai mati pun itu pajangan. Itu tempat jualan. Memakai busana harus sesuai jiwanya. Pariwisata Indonesia memang merupakan sesuatu yang refleksi. Berapa kuat mempertahankan kepribadian itu?" katanya.

Slamet mengaku prihatin atas derasnya pengaruh budaya luar di Indonesia. Ia membandingkan dengan beberapa negara lain seperti Jepang, Myanmar, atau Thailand. Mereka tetap bisa mempertahankan budaya lokalnya yang justru menjadi daya tarik pariwisata kelas dunia.

ARSIP KOMPAS TV Kesenian musik Tifa Suku Komoro di Timika, Papua.
“Bagaimana mereka melihat ruang waktu dan peristiwa yang berbeda dengan orang Jakarta. Kalau nanti misalnya pariwisata menjual Solo yang tidak ada di Jakarta ya pasti laku tapi kalau saya melihat yang di Jakarta juga ada ya mau ngapain ke sana," ungkap sutradara kawakan ini.

Ke depan, Slamet Rahardjo berharap, pemerintah dan kalangan industri pariwisata mulai kembali menyadari pentingnya pelestarian budaya dan alam sebagai modal utama pariwisata.
“Industri akan mengikut tetapi tidak berarti memiliki," tegasnya.

"Pariwisata itu anak kebudayaan, bukan pariwisata mengasilkan kebudayaan. Pariwisata itu adalah anak kebudayaan," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com