Selepas isya, Minggu (20/12/2015), suara gamelan sekati membahana di seantero Keraton Kanoman, di salah satu pusat Kota Cirebon, Jawa Barat. Irama selaras keluar dari pusaka yang terdiri dari, antara lain, bonang, rincik, saron, beduk, dan gong besar. "Deng..ting.teng," begitulah cuplikan suaranya.
Bunyi gamelan itu seakan mampu menggantikan celoteh para pedagang di sekitar Bangsal Sekaten, tempat gamelan ditabuh. Indah suaranya tetap terjaga, salah satunya karena ritual Nyiram Gong Sekati atau pencucian gamelan sekati.
Sebelumnya, pada Minggu pagi, di Langgar Keraton, ratusan pasang mata menyaksikan pencucian gamelan berwarna kuning tua itu.
Satu per satu perangkat gamelan dibasuh dengan air bercampur kembang, ditaburi batu bata merah halus, dan diusap dengan tepes (kulit kelapa kering). Sejak dahulu, penggunaan bahan itu dianggap dapat menjaga kualitas suara dan bentuk gamelan.
Pencucian dilakukan oleh lebih dari 20 nayaga, sebutan bagi kerabat keraton dan abdi dalem yang dipercayakan mencuci dan memainkan gamelan sekati.
Sebelumnya, sesepuh keraton menjelaskan tujuan Nyiram Gong Sekati dan memanjatkan doa kepada leluhur. Tak ada kebisingan, semua seakan-akan larut mengikuti tahapan demi tahapan.
Tidak hanya soal menjaga kualitas bunyi, pencucian itu juga menjadi ajang berkumpulnya keluarga Keraton Kanoman, abdi dalem, dan masyarakat dari Cirebon dan daerah lain.
Dalam waktu sejam itu, masyarakat dapat bersama Patih Kanoman Pangeran Raja Mochammad Qodiran dan Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin.
"Pencucian ini bermakna menyucikan diri demi menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh kesucian diri adalah hubungan yang baik sesama manusia," ujar juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Arimbi.
Gamelan sekati dapat menjadi contoh media perajut kebersamaan. Pada tahun 1520, Sultan Demak II Adipati Unus memberikan perangkat gamelan sekati sebagai hadiah pernikahan kepada putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu.
Dalam perjalanannya, pusaka tersebut juga digunakan sebagai media penyebaran ajaran Islam melalui tembang dari tabuhan gamelan sekati. Kala itu, imbalan untuk dapat menyaksikan pertunjukan gamelan sekati adalah syahadat. Konon, sekati berasal dari kata 'syahadatain' atau 'bersyahadat'.
"Tapi, itu bukan paksaan. Baik Muslim maupun nonMuslim dapat menyaksikan gamelan sekati ditabuh," lanjut Arimbi.